Senin, 05 Januari 2009

"HEGEMONI SEBAGAI STRUKTUR IDEOLOGI DAN BUDAYA

"HEGEMONI SEBAGAI STRUKTUR IDEOLOGI DAN BUDAYA
DALAM TEKS DRAMA KORBANNYA KONG-EK KARYA KWEE TEK HOAY"
Proposal Skripsi
Oleh:Abizar Purnama
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009

B A B I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Penelitian
Kata drama berasal dari kata dalam bahasa Yunani draomai, artinya berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi (Harymawan, 1988:1). Menurut Harymawan (1988:2), drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan di pentas dengan menggunakan dialog (dialogue) dan aksi (action) di hadapan penonton (Harymawan, 1988:2). Di dalam teks drama terdapat unsur-unsur cerita atau peristiwa yang dihadirkan oleh pengarang, yaitu dialog dan petunjuk pementasan (aksi) (Soemanto, 2001:4)
Menurut Astone dan Savona seperti yang dikutip oleh Soemanto (2001:4), dialog merupakan teks inti (hauptext), sedangkan petunjuk pementasan merupakan teks samping (nebentext). Dua bagian teks drama tersebut membedakannya dengan prosa dan puisi. Pada prosa dan puisi, permasalahan yang terjadi ditunjukkan melalui kombinasi dialog dan narasi, sedangkan pada teks drama, permasalahan itu ditunjukkan melalui dialog dan petunjuk pementasan. Petunjuk pementasan adalah petunjuk permainan drama bagi pelaku pementasan, baik aktor dan penata artistik, terutama bagi sutradara. Bagian ini meliputi deskripsi tokoh, laku tokoh, latar (tempat dan waktu), suasana pentas, bunyi (vokal, suara, musik, dan nyanyian), dan tempo permainan.
Menurut Harymawan (1988:24), konstruksi drama terdiri atas 3 unsur pokok, yaitu karakter, plot, dan premis. Karakter adalah bagian yang menggerakkan cerita. Bagian ini terdiri atas tiga dimensi, yaitu fisiologis (badani), sosiologis (latar belakang sosial), dan psikologis (kejiwaan). Plot adalah alur, rangka, jalinan peristiwa, atau susunan cerita. Gustav Freytag membagi plot drama modern menjadi 7 bagian, yaitu eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, konklusi, katastrofe, dan penyelesaian (Harymawan, 1988:18—19). Premis adalah rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal dalam menentukan arah cerita, sekaligus sebagai landasan pola bangunan lakon. Harymawan juga menyatakan (1988:22—23) bahwa teks drama yang baik dan modern memiliki unsur kegentingan (spanning) yang melibatkan emosi penonton.
Seperti halnya karya sastra pada umumnya, drama tidak terlepas dari kenyataan dan konflik sosial-politik pada saat penciptaannya; interpretasi pengarang tentang hidup (Soemanto, 2001:7). Berkaitan dengan itu, pengarang teks drama, sebagai anggota masyarakat, terikat pada status sosial tertentu. Bahasa, sebagai medium sebuah teks drama, merupakan alat pengutaraan pendapat atau propaganda ideologis pengarang terhadap masyarakat (penonton dan pembaca) (Harymawan, 1988:6).
Karya sastra, termasuk drama, diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat (pembaca). Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial dalam suatu lingkungan pergaulan (Damono, 1984:1). Di samping itu, menurut Faruk (2005:78), kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat sebagai infrastruktur. Meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya, sastra dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan budaya yang berdiri sendiri dan mempunyai sistem tersendiri.
Munculnya drama, sebagai bagian dari perkembangan karya sastra yang modern di Indonesia, beriringan dengan perkembangan masyarakat (kota) Indonesia yang bersifat plural, ekonomis, dan modern, terutama pada akhir abad ke-19. Masyarakat perkotaan saat itu terdiri atas kelompok sosial Belanda, Eropa, Indo-Eropa, Arab, Tionghoa, dan Indonesia. Seiring dengan itu, kebutuhan terhadap bentuk teater yang sesuai dengan aspirasi budayanya merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Kondisi demikian terutama dialami oleh Belanda dan Tionghoa. Dua kelompok sosial ini kurang mengenal bentuk asli teater Indonesia (teater tradisional). Oleh sebab itu, kedua-duanya merintis dan menumbuhkan bentuk-bentuk teater modern di Indonesia, yaitu pertunjukan teater yang menggunakan teks drama. Perintisan dan penumbuhan ini dapat dilakukan dengan mudah karena kedudukan dominan yang dimilikinya dalam bidang kehidupan saat itu—Belanda dalam bidang politik dan Tionghoa dalam bidang ekonomi (Sumardjo, 2004-b:242).
Berkaitan dengan kebutuhan aspirasi budaya masyarakat perkotaan, bentuk pertunjukan teater modern Indonesia dipengaruhi oleh konsep teater Barat yang dibawa Belanda, sedangkan penulisan drama dikembangkan secara aktif oleh orang-orang Tionghoa. Kelompok sosial Tionghoa mengembangkannya dengan tujuan mempertahankan identitas dan menggerakkan pendidikan budaya. Perkembangan ini disertai pula dengan kemunculan sastra Melayu-Tionghoa[1]. Walaupun demikian, orang-orang Tionghoa juga berperan dalam pembentukan kelompok teater modern (Suryadinata, 1996:56).
Pada masa itu kelompok sosial Tionghoa[2] terdiri atas golongan totok (sinkeh) dan golongan keturunan[3]. Pembagian ini secara bersama-sama berdasarkan tempat lahir (asas ius soli yang berlaku di Hindia Belanda), garis keturunan (asas ius sanguinis yang berlaku di daerah asal), dan, terutama, orientasi hidup. Mayoritas dari mereka merupakan keturunan orang-orang Hokkian dari provinsi Fukkien dan orang-orang Teo-Chiu dan Hakka dari provinsi Kwantung yang berprofesi sebagai pedagang dan buruh (Sumardjo, 1996:54).
Golongan totok adalah orang-orang yang murni lahir dari keturunan Tionghoa dan lahir di Tiongkok. Golongan ini masih menggunakan bahasa Mandarin dialek asal sebagai bahasa keseharian, sehingga mengalami kesulitan dalam pergaulan dengan masyarakat lain. Pada umumnya, golongan totok masih berorientasi secara konservatif dengan haluan Tiongkok. Golongan keturunan merupakan orang-orang Tionghoa yang dilahirkan di Hindia Belanda (Indonesia) atau yang memiliki garis keturunan Tionghoa dari pihak laki-laki. Bahasa yang umum digunakan oleh golongan keturunan adalah bahasa Melayu yang bercampur dengan dialek lokal atau daerah setempat (wilayah individu itu berada) dan bahasa Mandarin dialek asal. Melalui proses tersebut, muncul bahasa Melayu-Tionghoa yang menjadi media kesusastraannya. Golongan keturunan cenderung berpandangan kekinian (modern) dan merasa bahwa tanah asal (Tiongkok) adalah masa lalu. Golongan yang terakhir ini telah menganggap bahwa Hindia Belanda adalah latar untuk hidup sekarang dan masa datang. Sebagai akibat dari percampuran kultur itu, sebagian besar golongan keturunan telah terputus kultur hidupnya dengan daerah asal sekaligus belum begitu mengenal kultur Indonesia (Suryadinata, 1986:86; Setiono, 2002:--).
Pada awal 1900 didirikan organisasi sosial-kemasyarakatan Tiong Hoa Hwe Koan[4] (selanjutnya disebut THHK). Pada dasarnya, THHK adalah suatu organisasi yang bermaksud mengembalikan adat-istiadat leluhur di kalangan masyarakat Tionghoa secara umum dan menumbuhkan semangat kebangsaan. Maksud tersebut dilakukan melalui pendirian sekolah-sekolah untuk anak-anak Tionghoa dengan bahasa pengantar Ceng-Im (Mandarin). Selanjutnya, pada 3 Juni 1900 THHK dinyatakan sebagai organisasi yang sah dan berketetapan hukum oleh pemerintah Hindia Belanda (Hoay, 2001:424). Organisasi ini memopulerkan istilah ’tionghoa’ dan ’tiongkok’ (Hoay, 2001:412). Istilah ’tionghoa’ mengacu pada keetnisan, sedangkan ’tiongkok’ mengacu pada tanah asal. Orang Tionghoa adalah orang Tiongkok (totok) dan keturunan yang bermukim di Indonesia. Pembahasan mengenai hal ini dipaparkan lebih lanjut dalam bab pembahasan.
Sekolah-sekolah THHK berperan dalam mendidik orang-orang Tionghoa menjadi orang terpelajar. Sebagian besar kalangan terpelajar itu merupakan sastrawan dan seniman teater. Tokoh-tokoh sastrawan dan seniman teater Tionghoa tersebut, antara lain, Yap Goan Tay sebagai pendiri Komedie Stambul (kelompok perintis perkembangan teater modern di Indonesia); Tio Tik Djien sebagai pemilik modal dan pimpinan Miss Riboet’s Orion (kelompok peletak dasar teater modern Indonesia dan pelopor penggunaan teks drama asli, bukan terjemahan atau saduran); Nyoo Cheong Seng yang menjadi penulis teks drama untuk Miss Riboet’s Orion, sekaligus pada masa selanjutnya berperan penting dalam perkembangan film di Indonesia; Lauw Giok Lan sebagai pemikir, pengamat teater, penerjemah teks drama Eropa, dan kritikus teater Indonesia modern masa awal; dan Kwee Tek Hoay yang mampu mengarang banyak novel dan teks drama sekaligus seorang agamawan, pengamat sosial-politik, dan pembela kepentingan perempuan. Semua tokoh tersebut berpengaruh besar dalam perkembangan teater dan teks drama pada khususnya, serta perkembangan budaya dan masyarakat Indonesia yang modern pada umumnya (Sumardjo, 2004-b:113—121).
Sehubungan dengan itu, Sumardjo (1989:90—91) membuat periodisasi sastra Melayu-Tionghoa. Menurut Sumardjo, antara tahun 1925—1942 adalah masa keemasan sastra Melayu-Tionghoa. Pesatnya produktivitas para pengarang Tionghoa melingkupi masa itu. Pada masa keemasan itu terdapat satu pengarang yang paling menonjol, yaitu Kwee Tek Hoay. Kwee Tek Hoay berperan penting bagi perkembangan teater modern dan kesusastraan modern di Indonesia, terutama teks drama Melayu-Tionghoa.
Kwee Tek Hoay lahir pada 31 Juli 1886 dan meninggal pada 21 Juni 1951. Teks drama pertamanya berjudul Allah yang Palsu yang ditulis pada 1919 (penulisan judul tersebut dan judul karya-karya berikutnya disesuaikan dengan EyD). Berbeda dengan Lauw Giok Lan yang menerjemahkan teks drama secara utuh, Kwee Tek Hoay menyadurnya. Allah yang Palsu adalah saduran dari cerpen karya Edward Phillip Oppenheim yang berjudul The False Gods (Sumardjo, 2004-b:112). Dengan begitu, teks drama ini dapat dinyatakan yang pertama sekaligus menjadi pelopor dan tonggak penulisan teks drama untuk keperluan pertunjukan teater dalam seni dan sastra Indonesia modern.
Menurut Soemardjo (2004-b:243), teks drama Allah yang Palsu menunjukkan bentuk teks drama yang modern. Hal tersebut diamati pada segi dramaturgi (dramatic art), pencantuman nama tokoh, dialog, penggambaran latar ruang, laku tokoh, dan konvensi pembabakan. Dengan kata lain, teks drama ini memiliki premis, karakter, dan plot, serta memuat ketegangan (spanning) dalam ceritanya.
Teks drama Allah yang Palsu diterbitkan pertama kali oleh Electriche Drukkerij Tjiong Keon Bie, Batavia pada 1919 sebanyak 1000 eksemplar (Sumardjo, 2004-a:140). Inti cerita Allah yang Palsu ini mengenai kakak-adik, Tan Kioe Lie dan Tan Kioe Gie, yang memiliki karakter yang bertolak belakang. Tan Kioe Lie, kakak Tan Kioe Gie, merupakan seorang yang egois, pembohong, dan kikir. Meskipun demikian, Tan Kioe Gie merupakan orang yang jujur, sederhana, dan dermawan. Keduanya tinggal di Cicurug, Bogor yang kemudian merantau ke Batavia. Teks drama yang bersifat didaktis ini akhirnya memunculkan Tan Kioe Gie sebagai ”pemenang”.
Pada Januari 1926, Kwee Tek Hoay menyelesaikan karya yang kedua, yaitu Korbannya Kong-Ek; Tooneelstuk dalam Empat Bagian. Teks drama yang diterbitkan oleh Hap Sing Kong Sie, Semarang pada tahun yang sama ini merupakan saduran teks drama An Enemy of the People yang diciptakan oleh Henrik Ibsen pada 1862 (Sidharta, 2004:10). Sebelum disadur, pada 1923 Ang Jan Goan menerjemahkan secara utuh teks drama karya Ibsen tersebut ke dalam bahasa Melayu-Rendah dengan judul Musuhnya Orang Banyak (Sumardjo, 2004-b:278). Menurut Salmon (dalam Suryadinata, 1996:16), Kwee Tek Hoay menyadur teks drama dari Ibsen tersebut terutama pada unsur plot. Teks drama Korbannya Kong-Ek ini dipilih penulis sebagai objek analisis dalam penelitian ini.
Berbagai hal yang dijabarkan di atas menjadi latar belakang penulis secara umum untuk menentukan teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay sebagai objek penelitian. Secara khusus, penentuan teks drama Korbannya Kong-Ek telah melalui pertimbangan empat hal berikut ini.
Pertama, organisasi THHK sebagai pencetus pergerakan modern masyarakat Tionghoa diambil sebagai latar tempat dalam teks drama. Dengan meneliti Korbannya Kong-Ek, dapat ditelusuri keadaan THHK pada kenyataan yang sebenarnya, sekaligus keadaan sosial masyarakat Tionghoa pada masa sekitar penciptaan teks.
Kedua, Korbannya Kong-Ek diciptakan tidak kurang dari satu tahun setelah dikeluarkannya konstitusi baru. Konstitusi yang disahkan pada 1925 tersebut adalah penggolongan masyarakat Tionghoa sebagai golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) bersama masyarakat Arab oleh pemerintah kolonial Belanda—kedua-duanya mendapatkan kekuasaan legislatif. Konstitusi tersebut menegaskan secara formal hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan masyarakat Tionghoa dalam masyarakat—kelompok sosial Timur Asing memiliki kedudukan di bawah masyarakat Belanda, Eropa, dan Indo-Eropa, serta di atas masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, keanggotaan Timur Asing di dalam Volksraad hanya 5 orang, sedangkan Belanda, Eropa, dan Indo-Eropa 60 orang dan Indonesia 30 orang. (http://id.wiki.detik.com/wiki/Sejarah_Nusantara_%281 800-1940%29)
Ketiga, pada 1926 pula, Kwee Tek Hoay berada pada puncak kreativitasnya dalam berkarya, khususnya teks drama. Hal tersebut ditunjukkan dengan terciptanya karya-karya besar pada 1925—1930.
Keempat, sepengetahuan penulis, penelitian mengenai drama Melayu-Tionghoa dalam lingkungan akademis yang tidak banyak, padahal topik ini merupakan topik yang relevan dengan perkembangan drama saat ini. Jumlah karya sastra Melayu-Tionghoa yang banyak tidak diiringi dengan jumlah penelitian yang mengkaji topik tersebut.
Berdasarkan beberapa hal di atas dan dalam kaitannya dengan suatu penelitian ilmiah, penulis menentukan teori hegemoni yang dikemukakan Antonio Gramsci sebagai landasan teori terhadap penelitian ini. Teori hegemoni merupakan teori yang komprehensif dan representatif untuk menganalisis, meneliti, dan memahami teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay tersebut. Pernyataan tersebut berdasarkan pada karya sastra yang tidak lagi dipandang sebagai gejala kedua yang eksistensinya ditentukan masyarakat, tetapi berdiri sebagai institusi sosial yang relatif otonom dan memiliki kemungkinan bersifat formatif terhadap masyarakat (Faruk, 2005:61).
Gagasan Gramsci memberikan pandangan tentang konsep hidup dan cara berpikir yang dominan. Konsep itu berbicara tentang kenyataan yang diorganisasikan dan disebarluaskan di dalam masyarakat, baik secara institusional maupun perorangan. Selain itu, juga mampu menunjukkan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral. Menurut Raymond Williams seperti yang dikutip Antariksa (2000:--), teori hegemoni dapat dipandang sebagai struktur ideologi dan sebagai budaya. Hegemoni, sebagai struktur ideologi, menentukan subjektivitas dari subjek dengan cara-cara yang secara radikal mengurangi kemungkinan sebuah aksi kontra-hegemoni (counter-hegemony). Sebagai budaya, hegemoni adalah produk dari agen yang sadar dan dapat dilawan oleh alternatif sebuah aksi kontra-hegemoni secara material. Dengan kata lain, hegemoni sebagai struktur ideologi adalah tentang penafsiran tekstual, sedangkan hegemoni sebagai budaya adalah tentang produksi material, reproduksi, dan konsumsi (Antariksa, 2000).
Dengan menggunakan teori yang dikemukakan Gramsci, penelitian terhadap teks drama dapat lebih mudah dipahami. Dengan demikian, dapat diketahui perkembangan negara-bangsa Indonesia, khususnya dalam pembentukan masyarakat dan budaya beserta konflik dan perubahannya pada masa sekitar penciptaan teks drama.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas dan pendekatan teori yang digunakan di dalam penelitian ini, masalah-masalah yang diteliti dirumuskan sebagai berikut.
a. Penafsiran secara tekstual mengenai proses produksi ideologi melalui mekanisme material ideologi-ideologi yang eksis dan momen hegemoni di dalam teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay.
b. Pengorganisasian budaya dalam praktik-praktik sosial yang dihayati dan dialami oleh Kwee Tek Hoay untuk memproduksi teks drama Korbannya Kong-Ek.

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan penelitian ini adalah menjawab, memaparkan, dan menjelaskan, sekaligus untuk memberi pengetahuan hal-hal sebagai berikut.
a. Tafsiran secara tekstual mengenai proses produksi ideologi melalui mekanisme ideologi-ideologi yang eksis di dalam teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay.
b. Pola pengorganisasian budaya dalam praktik-praktik sosial yang dihayati dan dialami oleh Kwee Tek Hoay untuk memproduksi teks drama Korbannya Kong-Ek.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian terhadap teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis, penelitian ini menerapkan teori hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci terhadap pembacaan karya sastra, dalam hal ini teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay. Melalui hal tersebut, manfaat teoretis yang didapatkan dari penelitian ini adalah memperkuat teori yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci sebagai teori yang komprehensif untuk memahami fenomena sosial, politik, dan budaya yang ada di dalam karya sastra.
Lebih lanjut, pembacaan terhadap teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay lebih beragam dan lebih mudah dipahami. Kepahaman pembacaan tersebut mampu meningkatkan apresiasi pembaca terhadap teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay. Dari pengamatan penulis itu, nilai lebih dan gagasan baru dalam penelitian ini dapat memberikan apresiasi terhadap kesusastraan Melayu-Tionghoa kepada masyarakat luas. Selain itu, juga memperlihatkan peran penting kesusastraan Melayu-Tionghoa, terutama drama, dalam perkembangan sastra Indonesia modern. Penelitian ini merupakan upaya menumbuhkan dan membangkitkan kembali apresiasi dan perhatian masyarakat Indonesia terhadap khazanah kesusastraan Melayu-Tionghoa. Hal tersebut merupakan manfaat praktis penelitian ini.

1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, penelitian akademis yang mengkaji kehidupan pribadi Kwee Tek Hoay dan karya-karyanya secara khusus serta yang mendekati permasalahan itu dinyatakan di bawah ini.
Pertama, disertasi yang ditulis oleh John B. Kwee yang berjudul ”Chinese Malay Literature of the Peranakan Chinese in Indonesia 1880—1942 (Sastra Melayu Cina dalam Masyarakat Peranakan Cina di Indonesia pada 1880—1942)” di University of Auckland, Selandia Baru pada 1977 (Sidharta, 2004:6). Kwee mengambil dua argumentasi pokok pada disertasi tersebut, yaitu karya sastra Indonesia (secara umum) mendapat pengaruh yang cukup besar dari sastra Melayu-Tionghoa, dan sastra Melayu-Tionghoa hidup pada periode sebelum Perang Dunia ke-2. Dengan kata lain, selama dan setelah tekanan dari penjajahan Jepang yang mengintimidasi orang-orang Tionghoa pada 1942 hingga 1945, tidak ditemukan lagi karya-karya sastra yang khas dan mencirikan sastra Melayu-Tionghoa.
Kedua, tesis yang ditulis oleh Sainul Hermawan yang berjudul ”Konstruksi Tionghoa dalam Novel Ca-bau-kan Karya Remy Sylado: Analisis Wacana Foucaultian” di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2003). Tesis tersebut kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Tionghoa dalam Sastra Indonesia (2005). Hermawan mengkaji novel Indonesia bernuansa kebudayaan Tionghoa, yaitu Ca-bau-kan, yang ditulis oleh bukan orang Tionghoa (Remy Sylado) sebagai suatu wacana yang menunjukkan perlawanan terhadap wacana yang lebih luas. Teori yang digunakan Hermawan adalah teori wacana menurut Michel Foucault. Permasalahan wacana ketionghoaan dikoreksi oleh Hermawan melalui tesis tersebut. Wacana kesamaan tipe orang-orang Tionghoa ditentang dengan narasi novel yang menunjukkan keberagaman bahasa, mata pencaharian, kepercayaan, tingkat kesejahteraan, dan selera seni tokoh-tokoh Tionghoa. Pembantahan terhadap isu-isu diskursif-diskriminatif dan eksklusivitas orang Tionghoa juga menjadi wacana tersendiri. Selain itu, Ca-bau-kan juga mengedepankan kecintaan Tionghoa terhadap bangsa Indonesia.
Ketiga, penerapan rumusan teori Gramsci yang diterapkan untuk menganalisis teks drama secara khusus telah dilakukan oleh Putu Ayu Sitta Rani melalui skripsi yang berjudul ”Analisis Hegemoni Teks Drama Suksesi Karya Nano Riantiarno” di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2007). Rani menganalisis unsur dramatik teks, meliputi tema, plot, latar, dan tokoh untuk mengetahui ideologi-ideologi di dalam teks drama Suksesi karya Nobertus Riantiarno. Melalui pencarian ideologi tersebut, bentuk negosiasi ideologi dapat ditemukan. Selanjutnya, diketahui ideologi dominan dan intelektual dalam teks drama Suksesi.
Selain tinjauan pustaka akademis di atas, Claudine Salmon (1989:34—54) sedikit mengulas teks drama Korbannya Kong-Ek ini. Salmon memaparkan secara sepintas mengenai tanggapan masyarakat saat itu terhadap keberadaan teks drama Korbannya Kong-Ek. Paparan itu dimuat dalam artikel yang berjudul ”Pandangan Kwee Tek Hoay terhadap Pendidikan Anak-anak Tionghoa di Indonesia pada Tahun Duapuluhan” dalam Sidharta, Ed. (1989:34—54).
Empat tinjauan pustaka di atas dan informasi lainnya yang diketahui penulis menunjukkan bahwa penelitian yang mengkaji sastra Melayu-Tionghoa terbilang sedikit. Selain itu, juga belum ada yang meneliti secara khusus teks drama Melayu-Tionghoa, terutama terhadap teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay secara mendalam. Di samping itu, pelandasan penelitian pada teori yang dikemukakan Gramsci terhadap kesusastraan Melayu-Tionghoa juga belum ditemukan.

1.6 Landasan Teori
Menurut Gramsci (Bellamy, 1990:179), teori tidak saja memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial, tetapi juga menyediakan landasan bagi tindakan yang lebih efektif. Sosiologi sastra dalam perspektif Gramsci tidak hanya mengakui kompleksitas hubungan antara sastra sebagai superstruktur dengan struktur kelompok ekonomi sebagai infrastrukturnya. Peranan kesadaran dalam menentukan tindakan manusia dan arti penting hegemoni ideologis dalam memelihara hubungan-hubungan sosial merupakan unsur utama pemikiran Gramsci (Bellamy, 1990:169). Gagasan Gramsci tidak hanya mengakui eksistensi sastra sebagai lembaga sosial yang relatif otonom, melainkan juga mempunyai kemungkinan bersifat formatif terhadap masyarakat (Faruk, 2005:61).
Gagasan yang dikemukakan Gramsci terdiri atas dua bagian besar, yaitu hegemoni dan ideologi, tetapi kedua-duanya saling berkelindan. Gagasan itu dikenalkan melalui pilihan kumpulan catatan harian Gramsci pada waktu dipenjara antara tahun 1929—1935. Pilihan catatan itu diberi judul Quadreni del Carcere atau Selection from the Prison Notebooks (Fakih, 2004 dalam Simon, 2004:vii). Catatan tersebut sebenarnya ditulis oleh Gramsci secara terpisah, tidak bermaksud untuk dipublikasikan, dan bahkan belum terselesaikan. Akan tetapi, gagasan-gagasan Gramsci di dalamnya merupakan sumbangan penting dalam pemikiran dunia.

1.6.1 Hegemoni
Konsep hegemoni adalah inti dari problematika yang lebih luas yang mengembangkan teori sosial kontemporer, meskipun gagasan tersebut berakar pada 1920-an hingga 1930-an. Yang perlu ditekankan adalah bahwa upaya teoretis yang dilakukan oleh Gramsci ini adalah produk pencarian hubungan antara teori dan praktik dalam marxisme. Titik tolak konsep hegemoni adalah bahwa suatu kelompok dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelompok-kelompok di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (Simon, 2004:19).
Kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno, ’eugemonia’, seperti telah dinyatakan oleh Encyclopedia Britanica dalam praktiknya di Yunani. Kata eugemonia diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual, misalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta, terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73 dalam Patria & Arief, 2003:115).
Secara historis, konsep hegemoni pertama kali diproduksi di Rusia pada 1885 oleh para marxis Rusia, terutama oleh Georgi Valentinovich Plekhanov, salah seorang murid Karl Heindrich Marx dan Frederick Engels. Gagasan ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi untuk menggulingkan tsarisme. Istilah tersebut menunjukkan kepemimpinan hegemoni yang harus dibentuk oleh kaum proletar dan wakil-wakilnya dalam suatu aliansi dengan kelompok-kelompok yang lain, termasuk kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha mengakhiri negara polis Tsaris (Bocock, 2007:22; Patria & Arief, 2003:116; Plekhanov, 2007). Menurut Plekhanov (2007:57—58), untuk mengungkap hubungan basis (base atau infrastruktur) dengan bangunan atas (superstruktur) diperlukan formula Monistik. Formula itu bertujuan untuk mengetahui keadaan tenaga kerja produktif, hubungan ekonomis, sistem sosio-politis yang berdasar pada basis ekonomi terterntu, mentalitas masyarakat, dan sistem ideologi.
Vladimir Ilyich Ullyanov Lenin juga merumuskan hal yang senada dengan Plekhanov. Lenin merumuskan gagasan-gagasan yang muncul dalam What is to be Done? pada 1902. Gagasan Lenin yang lain adalah negara. Dalam karya Lenin, State and Revolution, pada 1918, negara dilihat sebagai instrumen aturan kelompok—hasil dan perwujudan dari tidak terdamaikannya pertentangan kelompok (Bocock, 2007:22; Patria & Arief, 2003:30 & 107). Melalui hal tersebut, Gramsci mengembangkannya, bahkan menonjolkan hegemoni sebagai sebuah gagasan sentral.
Bagi Gramsci, kesadaran politik proletariat harus dibangun melalui kepercayaan-kepercayaan dan akal sehat kaum proletar, seperti terungkap dalam cerita-cerita dan agama rakyat, dan bukan semata-mata dipaksakan dari pihak di luar kelompok sosialnya. Hal tersebut merupakan cerminan kekuatan kultural kohesif atau hegemoni yang dijalankan oleh kelompok sosial yang berkuasa (Gramsci mengistilahkannya kelompok sosial fundamental). Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelompok diktator (Simon, 2004:30; Williams, 1960: 587, dalam Patria & Arief, 2003:32; Faruk, 2005:78—79). Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok sosial dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lainnya (Bellamy, 1990:185).
Hegemoni merupakan konsep penting dalam tulisan-tulisan Gramsci, meskipun dipakai dalam berbagai pengertian. Konsep ini muncul bersamaan dengan upaya memajukan revolusi sosialis dalam rangka menghancurkan tatanan dan sistem kapitalisme. Penggunaan istilah ini sebagai konsep yang netral, tidak bersifat baik atau buruk. Artinya, Gramsci menggunakan konsep hegemoni dalam kerangka realitas perjuangan kelompok dalam suatu tatanan masyarakat.
Teori hegemoni menunjuk pada pengaruh kepemimpinan, dalam bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelompok yang dipimpin dalam karakter konsensual (Haramain, 2003:85). Konsensus yang terjadi antardua kelompok ini dapat diciptakan melalui cara paksaan maupun pengaruh secara terselubung lewat pengetahuan, termasuk sarana-sarana kebudayaan, yang disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan. Hegemoni juga dapat dilacak dalam supremasi kelompok sosial.
Menurut Gramsci, supremasi suatu kelompok sosial mewujudkan diri dengan dua cara: sebagai ”dominasi” dan sebagai ”kepemimpinan intelektual dan moral”. Suatu kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi (antagonistik) untuk menghancurkan atau menundukkan mereka lewat kekuatan militer; hal tersebut menyebabkan munculnya kelompok-kelompok sekutu. Di lain pihak, suatu kelompok sosial memimpin kelompok kerabat dan suku mereka serta dapat, bahkan, harus menerapkan ”kepemimpinan (intelektual dan moral)” berdasarkan persetujuan hegemonik untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan (Haramain, 2003:85—86; Bocock, 2007:109). Pernyataan yang kedua tersebut adalah yang menjadi premis mengenai gagasan-gagasan Grasmci tentang hegemoni. Untuk menjelaskan hal itu, perlu dijelaskan pula hal yang menjadi dasar hegemoni: konsensus.
1.6.1.1 Konsensus
Menurut Femia (dalam Patria & Arief, 2003:124), mekanisme konsensus (kesepakatan bersama), sebagai dasar bagi hegemoni kelompok yang berkuasa (fundamental) terhadap kelompok yang dikuasai (subaltern), muncul melalui empat model dalam perjalanan kesejarahannya, yaitu masa Romawi kuno, masa pramodern, masa masyarakat kapitalis, dan masa pemikiran kontemporer. Semua model itu memiliki karakteristik yang khas, seperti ditunjukkan berikut ini (Patria & Arief, 2003:124—125): (1) masa Romawi kuno (konsensus terletak sepenuhnya pada wewenang seorang kaisar sebagai pusat kekuasaan dan sumber otoritas politik; (2) masa pramodern (konsensus dipahami beriringan dengan konsep hierarki alamiah atau kodrati dan ditekankan pada keteraturan universal); (3) masa masyarakat kapitalis (konsensus dipandang sebagai tindakan yang dikehendaki atau sekurang-kurangnya sukarela secara individual); (4) masa pemikiran kontemporer (konsensus dipandang sebagai kekhususan sifat dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang familier)
Gramsci mengaitkan konsensus dengan spontanitas yang bersifat psikologis yang mencakup berbagai penerimaan aturan sosio-politis atau pun aspek-aspek aturan yang lain. Karena hegemoni pada dasarnya merupakan suatu totalitarianisme dalam arti ketat, tatanan hegemonis tidak perlu masuk ke dalam lembaga atau pun praktik liberal (Patria & Arief, 2003:125). Lebih lanjut, konsensus, yang pada dasarnya bersifat pasif, lebih mewujudkan suatu hipotesis bahwa penciptaannya semata-mata atas dasar persetujuan, terlepas karena alasan takut, telah terbiasa, atau murni kesadaran.
Melalui konsensus inilah, hegemoni muncul sebagai komitmen aktif atas kelompok sosial (Patria & Arief, 2003:126). Unsur kepasifannya semata-mata karena kelompok sosial yang dikuasai kekurangan basis konseptual yang membentuk kesadaran untuk memahami realitas sosial secara efektif. Ada dua hal yang menyebabkan hal itu, yaitu pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Gramsci menyatakan (Hendarto, 1993:82 dalam Patria & Arief, 2003:127) bahwa pendidikan, sekaligus lembaga sebagai bentuknya (sekolah, tempat ibadat, partai politik, media massa, dan sebagainya), tidak menyediakan kemungkinan itu dan menjadi alat kelompok sosial fundamental untuk menentukan ideologi. Yang dijadikan sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis tersebut adalah bahasa. Konflik sosial yang ada dibatasi, baik intensitas maupun ruang lingkupnya. Hal itu disebabkan kemungkinan bentuk keinginan, nilai, dan harapan baru muncul di luar sistem yang telah ditentukan.
Selanjutnya, konsensus massa menghasilkan tiga tingkatan hegemoni. Menurut Femia seperti yang dikutip Hendarto (1993:83—84 dalam Patria & Arief, 2003:128—129), tiga tingkatan hegemoni itu adalah
a) Hegemoni integral/total
Hegemoni yang ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Hal itu tampak dalam hubungan organis pemerintah dengan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi kontradiksi dan antagonisme, baik secara sosial maupun secara etis.
b) Hegemoni merosot
Hegemoni yang berada dalam disintegrasi mentalitas massa yang bersifat potensial, sehingga dapat muncul dalam konflik massa sekalipun sistem yang telah mencapai kebutuhan atau sasarannya. Oleh karena itu, integrasi budaya dan politik rentan runtuh.
c) Hegemoni minimum
Hegemoni yang bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasinya dengan kelompok lain dalam masyarakat.
1.6.1.2 Negara, Masyarakat Sipil, dan Negara Integral
Dalam perspektif Gramsci, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai masyarakat sipil yang terorganisasi. Konsep tersebut didasarkan pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dialektika atau kesatuan dalam keberbedaan (antitesis) antara ’negara’ (state) dengan ’masyarakat sipil’ (civil society) (Patria & Arief, 2003:134). Masyarakat sipil terdiri atas berbagai bentuk masyarakat yang rela (volunter) dan merupakan dunia politik utama, tempat semuanya berada dalam aktivitas ideologi dan intelektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil merupakan konteks seseorang menjadi sadar dan ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan. Dengan kata lain, kepentingan sempit ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan kemudian dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah wilayah perjuangan kelompok dan demokrasi untuk membuat perubahan dan menciptakan sejarah. Di dalamnya terjadi pesaingan hegemoni antara dua kelompok melalui mekanisme perjuangan politik dan ideologis (Fakih, 2004:xix; Simon, 2004:103).
Pada dasarnya, gagasan Gramsci mengenai negara dan masyarakat sipil memiliki beberapa pengertian dan rujukan. Pertama-tama, Gramsci membedakan negara dengan masyarakat sipil. Negara dimengerti sebagai sumber kekuasaan koersif dalam suatu masyarakat, sedangkan masyarakat sipil dimengerti sebagai lokasi kepemimpinan hegemoni. Akan tetapi, Gramsci lalu menghubungkan konsep ini satu sama lain untuk merujuk pada gagasan ’negara integral’. Agar hal ini tidak membuat dikotomi definitif negara dan masyarakat sipil, penulis merujuk pada pernyataan Perry Anderson[5] (dalam Bocock, 2007:29) mengenai model formulasi hegemoni dalam Prison Notebooks. Kedua istilah itu dapat dileburkan dalam istilah ’negara integral’. Penyebutan ’negara integral’ mengacu pada komponen negara sebagai masyarakat politik (political society) berhadapan dan beriringan dengan masyarakat sipil. Dengan kata lain, negara integral merupakan hasil perpaduan antara sumber koersi dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik.
Suatu negara integral memuat kesepakatan sukarela tentang tujuan-tujuan dasar melalui seperangkat gagasan dan nilai. Negara integral juga merupakan falsafah bersama yang dimiliki oleh sebagian besar orang yang berdasar pada persetujuan aktif dan bebas. Persetujuan itu tidak dimanipulasi dan tidak dihasilkan oleh ketakutan terhadap kekuatan koersif. Walaupun demikian, bukan berarti aparat koersi terbatalkan (Bocock, 2007:26).
Selanjutnya, untuk menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat, hegemoni harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural, dan intelektual. Hal itu menyebabkan kelompok hegemonik harus menyebarkan pandangan dan kepentingannya. Selain itu, kelompok hegemonik harus memadukan kepemimpinan dari suatu kekuatan dalam masyarakat sipil dengan bidang produksi (Simon, 2004:29). Hubungan keterpaduan semua dimensi kehidupan kelompok sosial ini adalah blok historis (historic bloc). Dengan kata lain, blok historis akan tercipta atau berhasil diciptakan bila sebuah negara integral telah mengatasi fase koorporatif-ekonomisnya sehingga terjadi keseragaman antara basis dan superstruktur (Patria & Arief, 2003:154).
Dengan demikian, negara sebagai suatu instrumen dari sebuah kelompok sosial menciptakan kondisi-kondisi yang di bawah kelompok tertentu dapat berkembang secara penuh. Selain itu, negara kelompok sosial fundamental juga bertindak atas nama kepentingan universal dalam suatu lapangan yang secara konstan mengubah ekuilibrium antara kelompok dominan dan kelompok pinggiran (Patria & Arief, 2003:154). Tanggung jawab untuk membangun sebuah blok historis baru, menciptakan hegemoni, dan menguniversalkan pandangan dunia kelompok revolusioner berada pada peran intelektual.

1.6.1.3 Intelektual dan Budaya
Penciptaan kelompok intelektual di atas dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu, misalnya bentuk-bentuk sekolahan dan pengajaran, kematangan dan ketidakmatangan relatif bahasa nasional, dan sifat-sifat kelompok sosial yang dominan (Faruk, 2005:74—75). Gramsci (2007:2) menyatakan
“Setiap kelompok sosial, yang datang dari adanya wilayah basis produksi ekonomi, menciptakan sendiri satu atau beberapa kelompok intelektual yang memberikan suatu keseragaman (homogenitas) dan kesadaran terhadap fungsinya tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga pada wilayah sosial dan politik.”

Konsep intelektual Gramsci menunjukkan pentingnya peran aktif manusia dalam suatu momen hegemoni. Menurut Simon (2004:141), Gramsci memperluas definisi kaum intelektual, yaitu semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat dan dalam wilayah produksi seperti dalam wilayah politik dan kebudayaan. Pendapat di atas berdasarkan pernyataan Hoare & Smith (pengantar dalam Gramsci, 2007) berikut ini.
“Inti argumen esai Gramsci perihal formasi intelektual itu sederhana. Gagasan ’intelektual’ sebagai kategori sosial tunggal yang bebas dari suatu kelas merupakan mitos belaka. Semua orang memiliki potensi sebagai intelektual sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan cara menggunakannya, tetapi tidak semua intelektual mempunyai fungsi sosial.”

Seorang intelektual bukanlah sesuatu yang otonom dan bebas (independen). Peran intelektual termasuk vital bagi tugasnya sebagai penghasil konsensus.
Pada dasarnya, gagasan intelektual ini adalah kritik Gramsci terhadap konsep intelektual yang dikemukakan Benedetto Croce. Croce (dalam Bocock, 2007:59) berpendapat bahwa terdapat dua aktivitas pokok yang memungkinkan manusia dalam memahami dunia untuk melakukan perubahan: (1) aktivitas intelektual, meliputi intuisi—menyangkut konsep keindahan dan dipelajari dengan estetika; dan abstraksi—menyangkut konsep kebenaran dan dipelajari dalam logika. (2) aktivitas praktis, meliputi aktivitas ekonomi—menyangkut konsep utilitas dan dipelajari oleh ilmu ekonomi; dan aktivitas etis—menyangkut konsep kebaikan dan dipelajari oleh ilmu etika. Semua hal di atas disebut filsafat individual (Bocock, 2007:59).
Gramsci lebih meyakini bahwa perubahan hanya dapat dilakukan melalui aktivitas kolektif. Kolektivitas dalam masyarakat dapat dan hendak mengontrol sejarah lewat tindakan politik yang mewujudkan suatu jenis peradaban hegemonik (Bocock, 2007:61—62). Lebih lanjut, kaum intelektual yang otonom dan steril dari massa cenderung mengedepankan kerja ideologis yang berpotensi memunculkan kekerasan. Oleh karena itu, konsep Croce di atas digugurkan Gramsci dan menggantinya dengan suatu filsafat praksis-kolektif ini. Menurut Gramsci (2007:2), kaum intelektual tidak membentuk kelompok sosial yang independen, tetapi setiap kelompok mempunyai satu atau beberapa kaum intelektualnya sendiri.
Ada dua hal yang perlu digarisbawahi mengenai pandangan Gramsci terhadap intelektual. Pertama, perlunya menghapus perbedaan antara kerja manual dan kerja intelektual yang telah berlangsung lama di bawah kapitalisme dalam proses produksi, dalam masyarakat sipil, juga dalam aparat negara. Seperti yang dikemukakan Monasta (1993:5),
“Kritik terhadap perbedaan tradisional antara ‘kerja manual’ dan ‘kerja intelektual’ adalah salah satu langkah penting dalam teori baru tentang pendidikan. Menurut Gramsci, perbedaan ini terletak pada kemampuan suatu ideologi mengalihkan perhatian dari fungsi sosial yang sesungguhnya dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan teknisnya.”

Kedua, hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan—watak kekuasaan yang lahir dari sesuatu yang mirip monopoli pengetahuan (Simon, 2004:140).
Langkah yang ditempuh Gramsci selanjutnya adalah membuat perbedaan antara intelektual ’organik’ dan intelektual ’tradisional’ yang berdasarkan perkotaan-pedesaan (urban and rural-type intelectuals). Intelektual tradisional menempatkan dirinya dalam satu kesatuan saja—diistilahkan oleh Gramsci ”esprit de corps” (Gramsci, 2007:3)—yang cenderung otonom, independen, bercorak pedesaan (rural type), terbatas, berkarakter eksklusif, subjektif, dan tergerak oleh sistem kapitalis (Simon, 2004:142—144). Simon (2004:143) menafsirkan bahwa definisi Gramsci mengenai intelektual tradisional adalah intelektual organik yang berada dalam model produksi feodal, yaitu orang yang kedudukannya dalam masyarakat mempunyai lingkaran inter-kelompok tertentu. Gramsci mencontohkan tentang kelompok ini, misalnya rohaniawan, seniman, sastrawan, dan filsuf.
Intelektual organik adalah intelektual yang mengakui hubungannya dengan kelompok sosial tertentu dan memberikan homogenitas serta kesadaran tentang fungsinya, bukan hanya di bidang ekonomi, melainkan juga di bidang sosial dan politik (Gramsci, 2007:2). Dengan kata lain, intelektual organik adalah yang sadar secara organik tidak terpisah dari massa. Selain itu, juga merupakan pemikir dan organisatoris yang menyebarkan pandangan-pandangan secara universal. Perubahan sosial politik baru dapat dimungkinkan jika masyarakat bawah terlebih dahulu berhasil merebut hegemoni kultural dengan menyingkirkan hegemoni kaum borjuasi yang menindas.
Peran menyebarkan pandangan hegemonik secara universal ini kemudian dimunculkan Gramsci sebagai strategi alternatif—Gramsci menyebutnya perang posisi (war of position). Strategi perang posisi memberikan penetrasi terhadap mekanisme-mekanisme ideologis yang kompleks. Hal ini tidak diartikan sebagai kekerasan, tetapi membangun pondasi budaya baru (norma dan nilai). Perang posisi ini berdasarkan pada gagasan kontra-hegemoni (counter-hegemony) yang diciptakan oleh kelompok pekerja dengan cara membangun lembaga-lembaga serta mengembangkan budaya (Patria & Arief, 2003:172—174). Jadi, pada prinsipnya, perang posisi dan kaitannya dengan kontra-hegemoni adalah serangan berkelanjutan terhadap superstruktur kebudayaan untuk menciptakan hegemoni baru (Bellamy, 1990:201).
Gramsci menekankan pentingnya intelektual organik dalam bernegosiasi secara sadar antara teori dan realitas yang ada sehingga memberikan konstribusinya pada pengaruh-massa. Kondisi ini bermula dari sejarah intelektual di Italia. Refleksi kondisi pada masa itu menyebabkan kedudukan bahasa, sastra, dan kebudayaan menjadi lebih penting (Haramain, 2003:93). Selain itu, Gramsci juga menunjukkan arti penting karya kaum intelektual ini dalam kepercayaan masyarakat dan pemikiran awam (common sense). Dalam perang posisi untuk mewujudkan hegemoni, dimensi masyarakat sipil yang harus ditundukkan adalah media massa, salah satunya adalah sastra, berikut bahasa sebagai medianya.
Sastra dipandang sebagai karya yang belum selesai dan senantiasa mendahului zaman. Secara imajinatif, sastra mencita-citakan masyarakat di masa depan sehingga menjadikannya sebagai salah satu upaya untuk memperoleh hegemoni sebelum revolusi. Gramsci memang tidak secara langsung menyebut hal tersebut. Akan tetapi, pengelompokan sastrawan juga sebagai bagian dari intelektual organik menyebabkan sastrawan patut ikut serta secara aktif dan sadar dalam proses pembentukan suatu budaya (Gramsci, 2000).
Bahasa, sebagai media dalam sastra, menurut Gramsci (dalam Faruk, 2005:71), mengandung elemen-elemen suatu konsepsi mengenai dunia dan kebudayaan. Pada akhirnya, sastra dapat menjadi lembaga sosial yang bersifat formatif terhadap masyarakat. Bila hal di atas terbukti, maka bahasa seseorang dapat ditafsirkan kompleksitas yang lebih besar atau lebih kurang dari konsepsinya mengenai dunia.
Jadi, cara yang dilakukan oleh seseorang tergantung pada konsepsi diri pribadi (pandangan dunia); konsepsi itu berkaitan dengan tatanan kehidupan yang nyata. Menurut Gramsci (1975:445—446 dalam Davidson, 2005:205—206), pandangan dunia demikian harus mencakup pola pengorganisasian praktik-praktik dalam kehidupan dan cara memandang praktik-praktik hidup tadi. Kaum intelektual merupakan suatu kategori sosial tertentu yang berdasar pada praktik pengorganisasian kehidupan sehari-hari itu. Berkaitan dengan itu pula, organisasi-organisasi sosial itu menjadi media pijakan ideologi. Kebudayaan, pandangan dunia, dan konsepsi mengenai dunia oleh Gramsci diacukan pada istilah ’ideologi’.

1.6.2 Ideologi
Gagasan mengenai ideologi oleh Gramsci dikembangkan dari dan kritik terhadap gagasan yang dikemukakan Marx dan Engels. Gramsci (dalam Bellamy, 1990:185; Simon, 2004:83; Iskandar, 2003:67) menyatakan bahwa ideologi lebih dari sekadar sistem ide. Ideologi mengatur manusia dan memberikan tempat manusia untuk bergerak, memperoleh kesadaran pada posisinya, dan alat perjuangan—disebut elemen kesadaran.
Gramsci membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitrary systems) yang dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu dengan ideologi organik yang bersifat historis (historically organis ideologies) yang memiliki keabsahan psikologis. Ideologi adalah sistem makna dan nilai; ekspresi atau proyeksi atas kepentingan kelompok tertentu; dan bentuknya tidak disadari, dapat diekspresikan, dan dikontrol—disebut elemen kebebasan. Ideologi, dalam perannya yang formatif, memiliki fungsi memolakan, mengonsolidasikan, dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat (Simon, 2004:86—91).
Gramsci (dalam Simon, 2004:84) menegaskan bahwa ideologi memiliki eksistensi materialnya—disebut elemen material—dalam berbagai aktivitas praktis, misalnya partai politik, serikat dagang, lembaga pendidikan, aparatur negara, dan lembaga hukum. Selain itu, juga memberikan aturan dan perilaku moral bagi aktivitas itu, sekaligus ekuivalen dengan agama dalam makna sekulernya, yaitu mengenai pemahaman antara konsepsi dunia dan norma tingkah laku (material produksi ideologi).
Ideologi tidak dapat dinilai dari kebenaran atau kesalahannya, tetapi harus dinilai dari kemampuannya dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu wadah—elemen solidaritas-identitas. Lebih lanjut, juga dalam peranannya sebagai pondasi proses penyatuan sosial antara kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan (Simon, 2004: 86—87; Faruk, 2005:74).
Dalam kondisi hegemoni kelompok kapitalis, kelompok dominan memaksakan visi hegemoni mereka melalui berbagai institusi superstruktur, seperti sekolah, media massa, agama, dan praktik manusia sehari-hari. Hal ini membuat orang melihat dunia melalui kacamata yang terdistorsi secara ideologis, sehingga semua pandangan dunia (kapitalis) harus ditentang sebelum revolusi dapat memperoleh dukungan massa (Bellamy, 1990:185).
Keadaan tersebut diistilahkan Gramsci dengan pemikiran awam (common sense). Pemikiran awam oleh Gramsci ini merupakan sesuatu yang disebut ’ideologi’ oleh Marx dan Engels. Pemikiran awam adalah cara pemahaman seseorang yang tidak sadar dan tidak kritis terhadap dunia (Simon, 2004:27). Kebiasaan dan kemampuan seseorang tersebut yang menganggap sebagai sebuah hakekat yang tidak dapat dihindari karena kehendak Tuhan atau produk alam tertentu merupakan cara hegemonik kelompok penguasa (Bellamy, 1990:187). Pemikiran awam tidak harus dilihat dalam pengertian negatif. Pemikiran awam merupakan tempat dibangunnya ideologi, juga menjadi tempat perlawanan ideologi tersebut (Simon, 2004:27).
Menurut Simon (2004:90—91), prinsip sebuah kelompok sosial yang bergerak maju menjadi hegemoni, dalam suatu momen hegemoni, perlu membangun sistem ideologi dengan meninjau dua poin berikut ini. Pertama, suatu kelompok tidak akan memperoleh hegemoni hanya semata-mata dengan menerapkan pandangannya sendiri terhadap semua kelompok sosial lainnya. Perlu diingat, bahwa gagasan Gramsci tentang hegemoni seringkali dipahami dengan adanya penerapan ideologi suatu kelompok ke dalam kelompok lain. Sebaliknya, kecenderungan untuk mereduksi ideologi menjadi instrumen kelompok akan mengarah pada ekonomisme, suatu hal yang ditentang Gramsci.
Kedua, sistem ideologi baru tidak dapat dibuat sekali jadi sebagai jenis konstruksi intelektual yang dikerjakan oleh para pemimpin organisasi. Akan tetapi, harus dihadapkan dan secara bertahap dibangun melalui perjuangan politik dan ekonomi, serta karakternya bergantung pada hubungan berbagai kekuatan yang ada selama proses itu.
Menurut Gramsci (dalam Bocock, 2007:125), dalam pengertian yang tertinggi terhadap suatu konsep tentang dunia yang tersirat dan terwujud dalam seni, hukum, aktivitas ekonomi, dan semua perwujudan kehidupan individual dan kolektif, agama (religi) dapat disebut sebagai ideologi. Religi dianggap beroperasi sebagai wawasan dunia yang populer, dengan suatu sistem nilai moral, suatu sistem kepercayaan yang berkaitan, dan suatu sistem ritual atau simbolik.
Bocock memberi argumen tentang peran sistem religi yang terhambat kemunculan pengakuannya sebagai bagian dari tindakan hegemoni. Menurut Bocock (2007:121), faktor yang mengakibatkan hal tersebut adalah kaburnya pembedaan antara tiga konsep mendasar yang terdapat dalam gagasan Gramsci, yaitu konsep ekonomi, negara, dan masyarakat sipil. Religi, sebagai contoh penting jenis lembaga dalam masyarakat sipil, memiliki tingkat otonomi yang cukup besar dari negara dalam banyak formasi sosial kapitalis modern. Hal itu bermanfaat untuk mempertahankan konsep tentang kemungkinan beberapa lembaga sosial yang relatif otonom itu dari negara. Oleh karena itu, religi mampu beroperasi dalam masyarakat sipil sebagai suatu zona yang dikonseptualisasikan berbeda dan terpisah dari zona negara.
Menurut Faruk (2005:74), agama (religi) mempunyai perasaan yang kuat pada kebutuhan untuk kesatuan doktrinal massa penganutnya secara keseluruhan dan berjuang untuk menjamin stratum intelektual yang lebih tinggi tidak terpisahkan dari yang lebih rendah. Suatu religi dapat berhasil secara historis dalam beroperasi secara hegemonik. Menurut Gramsci (dalam Bocock, 2007:131), sebagai sesuatu yang harus dianggap serius, religi merupakan suatu konsep moral tentang dunia dan berpengaruh terhadap tatanan masyarakat. Religi juga dapat menghasilkan sistem nilai moral yang bersifat memimpin yang sering diabadikan dalam pelbagai hukum negara dan dalam wawasan dunia utama di antara berbagai media massa, termasuk sastra. Oleh karena itu, religi dapat bersifat revolusioner. Di samping itu, dalam kaitannya dengan muatan religius, sastra dapat dijadikan media penyebaran ideologi, bahkan suatu sistem religi, melalui serangkaian sistem (konvensi) yang tergagas.

1.7 Metode Penelitian
Untuk mempermudah pencapaian tujuan penelitian, cara kerja yang bersistem atau metode yang dilakukan di dalam penelitian ini terdiri atas tiga tahapan. Pertama, tahap persiapan penelitian. Pada tahap ini, penulis menentukan topik penelitian, melakukan studi kepustakaan, dan menyusun rancangan penelitian.
Penentuan topik penelitian dilakukan dengn mengamati perkembangan mutakhir penelitian akademis, terutama di lingkungan akademis penulis. Dari hal tersebut, diasumsikan bahwa kesusastraan Melayu-Tionghoa, terutama teks drama Melayu-Tionghoa, adalah objek yang jarang diteliti, padahal penting untuk diteliti.
Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca objek penelitian secara berulang-ulang dan mendalam, serta mencerna pembacaan itu berdasarkan hal yang telah dispesifikasikan di dalam teori hegemoni. Selain itu, penulis mencari, membaca, dan memahami semua referensi yang berhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan teks drama Korbannya Kong-Ek. Referensi tersebut termasuk yang membicarakan Kwee Tek Hoay, sastra Melayu-Tionghoa, kebudayaan Tionghoa, dan sejarah Indonesia awal abad ke-20. Cara mendapatkan referensi dilakukan melalui pemerolehan buku-buku, pemanfaatan buku-buku perpustakaan, dan pengamatan materi di dalam jaringan situs internet. Di samping itu, dalam hal pemilihan teori, penulis menelaah dan memahami berbagai bahasan mengenai teori hegemoni yang dianggap dapat menjadi suatu landasan teori yang tepat. Teori hegemoni yang digunakan sebagai landasan itu dipahami dengan cara mencari, membaca, dan memahami segala referensi mengenai Antonio Gramsci, hegemoni, ideologi, budaya, pandangan-pandangan marxisme, dan implikasi teori dari Gramsci.
Selanjutnya, setelah topik penelitian ditentukan, penulis menyusun rancangan penelitian yang diuraikan pada latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan landasan teori. Penyusunan ini bermaksud untuk menertibkan arah penelitian.
Kedua, tahap pelaksanaan penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam tahap ini adalah metode materialisme kultural yang dikemukakan oleh Raymond Williams. Metode itu mengeksplorasi kebudayaan dalam konteks kondisi-kondisi material ketika diproduksi dan dikonsumsi ini. Selain itu, metode tersebut mengacu pada gagasan hegemoni dan ideologi dari Gramsci dan mengarahkannya pada studi sastra secara lebih spesifik.
Dengan materialisme kultural, Williams (dalam Milner, 2003:377) menegaskan kembali bahwa kebudayaan harus dimengerti dalam representasi dan praktik-praktik sehari-hari dalam konteks kondisi-kondisi material produksinya. Produk kebudayaan berhubungan dengan kebutuhan, kebutuhan baru, dan reproduksi. Analisis materialisme kultural berarti analisis atas semua bentuk penandaan dalam kondisi dan makna yang aktual ketika diproduksi. Hegemoni dipandang sebagai sistem kerja yang dinamis dalam sifatnya yang adaptatif, ekstensif, dan inkorporatif. Williams menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam pola pengorganisasiannya. Pola-pola tersebut berkaitan dengan institusi-institusi yang memproduksi kebudayaan; formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan; bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya; identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan sebagai tujuan-tujuan estetisnya; reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu; dan cara pengorganisasiannya (Antariksa, 2000; Milner, 2003:375—384; Faruk, 2005:78—83).
Pada tahap ini, analisis data dilakukan dengan sistem kerja yang memuat berbagai sumber tertulis yang relevan dan representatif. Data yang digunakan meliputi data pokok dan data pendukung. Data pokok, yaitu teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay, sedangkan data pendukung berupa referensi kepustakaan dan teori yang dikemukakan oleh Gramsci.
Hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi ideologi yang terdapat di dalam data pokok. Identifikasi tersebut dilakukan dengan menafsirkan secara tekstual unsur-unsur pokok pembangun teks drama, yaitu karakter, plot, dan premis. Pernyataan-pernyataan itu dirumuskan dalam konsep dan tipe ideologi yang telah mapan secara teoretis. Sesudah itu, dikemukakan material produksi ideologinya yang berkaitan dengan eksistensi ideologi, yaitu pembentukan bentuk-bentuk ideologi di dalam teks. Eksistensi ideologi tersebut memiliki struktur dan hubungan tertentu yang berkorelasi, bertentangan, ataupun bersubordinasi. Tingkat perkembangan suatu kekuatan ideologi menjadi dasar bagi proses munculnya kelompok sosial, yang masing-masing mempunyai kedudukan khusus dalam hegemoni. Proses itu disebut momen hegemoni (Patria & Arief, 2003:146; Simon, 2004:34).
Analisis data juga meliputi pembahasan tentang situasi historis penciptaan teks drama Korbannya Kong-Ek. Momen hegemoni yang terjadi pada tataran teks dihubungkan dengan konteks sosial pengarang, terutama pola-pola pengorganisasian situasi sosial di dalam teks. Implikasi dari hal di atas menunjukkan peran, kedudukan, dan kebudayaan masyarakat Tionghoa yang ditunjukkan dalam permasalahan kehidupan yang dialami dan dihadapi oleh pengarang. Dari berbagai tahap analisis data di atas dapat dicapai kesimpulan.
Ketiga, tahap penyusunan hasil analisis. Penyusunan ini dilakukan secara sistematis dan deskriptif.

1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian ini terdiri atas empat bab. Keempat bab tersebut adalah sebagai berikut.
Bab I berupa pendahuluan. Pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian.
Bab II dan III merupakan bab pembahasan. Bab II berisi pembahasan mengenai hegemoni sebagai struktur ideologi teks drama Korbannya Kong-Ek yang didahului dengan identifikasi ideologi-ideologi di dalam unsur pokok teks (karakter, plot, dan premis). Selanjutnya, juga dipaparkan eksistensi ideologi dalam teks drama Korbannya Kong-Ek. Pada bab ini dipaparkan pula hubungan antar-ideologi atau momen hegemoni dalam teks. Pembahasan ini penting dilakukan untuk mengetahui konsepsi yang ingin diorganisasikan pengarang terhadap masyarakat melalui Korbannya Kong-Ek. Bab III memaparkan hegemoni sebagai budaya, terutama dalam konteks historis teks drama dengan pengarangnya (Kwee Tek Hoay). Konteks tersebut menunjukkan pola-pola pengorganisasian budaya dalam praktik-praktik sosial yang dihayati dan dialami oleh Kwee Tek Hoay.
Bab IV merupakan kesimpulan yang diambil dari bab pembahasan yang telah menghasilkan penilaian terhadap teks drama Korbannya Kong-Ek karya Kwee Tek Hoay tersebut.

Catatan Akhir

[1] Dalam penelitian ini, berdasarkan pengarang dan bahasa yang digunakan di dalam teks, pemakaian istilah ’sastra Melayu-Tionghoa’ yang merujuk pada teks drama sebagai karya sastra, seperti yang digunakan oleh Benny G. Setiono (2002, http://www.jawapalace.org/ sejarah.html), dianggap penulis lebih tepat daripada sebutan lain; seperti yang digunakan Jakob Sumardjo (sastra Melayu-Rendah/Melayu-Pasar dan sastra Melayu-Cina/Melayu-Betawi), Faruk (sastra Peranakan Cina dan sastra Tionghoa Peranakan), Leo Suryadinata (sastra Peranakan Tionghoa), maupun Nio Joe Lan (sastra Indonesia-Tionghoa). Berdasarkan berbagai sumber di atas, terutama menurut Setiono, pengertian sastra Melayu-Tionghoa adalah karya sastra yang diciptakan oleh orang Tionghoa, baik totok maupun keturunan, hingga masa keruntuhannya (tahun 1942) dan ditulis dengan bahasa Melayu-Tionghoa.

[2] Pembedaan istilah Cina dengan Tionghoa dapat dilihat secara lengkap dalam Benny G. Setiono, Cina, Tionghoa, dan Tiongkok, http://www.jawapalace.org/sejarah.html, 2002; Myra Sidharta, Sekali Lagi: Tionghoa atau Cina, http://www.purnamaputralaut.blogspot.com/, 2008; Tan Swie Ling, Cina-Tionghoa dalam Hipotesis Deskriptif, http://www.budaya-tionghoa.org/modules. php?name =News&file=categories&op=newindex&catid=18, 2008; dan Han Swie Song, Orang Tionghoa Keturunan dari Yan dan Huang-Dia: Asal Usul Nama Tionghoa, http://groups. yahoo.com/ group/budaya_tionghua/message/2319.

[3] Penelitian ini menggunakan istilah ’keturunan’ menggantikan istilah ’peranakan’ (yang jamak dipakai peneliti terdahulu dengan maksud atau acuan yang sama). Tidak digunakannya ’peranakan’ karena istilah tersebut tidak mencakup seseorang yang dilahirkan di suatu negara oleh orang tua yang keduanya berasal dari satu negara lain (lihat KBBI). Penggunaan istilah ini bukan bermaksud untuk tidak menyesuaikan dengan UU Kewarganegaraan RI no.12/2006 yang menyatakan penghapusan istilah ’pribumi’ dan ’non-pribumi’ yang juga sekaligus menghapus istilah ’WNI keturunan Tionghoa’, melainkan untuk memudahkan pemahaman atas pengelompokan.

[4] Untuk studi yang terdokumentasi dengan komprehensif mengenai Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) dapat dilihat dalam Nio Joe Lan, Riwajat 40 Taon T.H.H.K Batavia (1900—1939), Jakarta, 1940.

[5] Menurut Perry Anderson (1977), hubungan negara dengan masyarakat sipil dalam Prison Notebooks terformulasi dalam tiga model, yaitu (1) menyangkut kebudayaan dan kepemimpinan moral; hegemoni yang dilaksanakan dalam masyarakat sipil. Negara merupakan lokasi kekuasaan koersif dalam bentuk polisi dan militer. Ekonomi merupakan lokasi dari disiplin kerja (work disciplines), uang tunai (cash nexus), dan kontrol moneter (monetary controls); (2) hegemoni yang digerakkan dalam negara dan masyarakat sipil secara bersamaan. Lembaga pendidikan dan hukum, dalam aktivitasnya di wilayah negara, berperan penting dalam menjalankan hegemoni. Model ini terpengaruh dari gagasan Beneditto Croce; dan (3) antara negara dan masyarakat sipil tidak dibedakan. Keduanya dihapuskan. Lebih lanjut lihat dalam Perry Anderson, The Antinomies of Antonio Gramsci, dalam New Left Review, No.100, 1977; atau Robert Bocock, Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, Yogyakarta, 2007, hlm. 26—29
BIBLIOGRAFI



Ahmad, A. Kasim. 1999. ”Pengaruh Teater Tradisional pada Teater Indonesia”. Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Tommy F. Awuy (Ed.). Dewan Kesenian Jakarta.

Aminuddin. 2000. ”Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan Pemahaman Perubahan Ideologi”. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Arif, Saiful. 2003. ”Liberalisasi Pasar Perspektif Gramscian: Hegemoni Antarnegara”. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Saiful Arif (Ed.). Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.

Awuy, Tommy F. 1999. ”Teater Indonesia dalam Ambiguitas dan Ironi”. Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Tommy F. Awuy (Ed.). Dewan Kesenian Jakarta.

Batubara, Arie. 1999. ”Teater Indonesia Merespon Persoalan-persoalan Sosial: Protes, Gugat, Imbau, Sindir, Teror, Provokasi”. Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Tommy F. Awuy (Ed.). Dewan Kesenian Jakarta.

Beilharz, Peter. 2003. ”Karl Marx”. Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Peter Beilharz (Ed.). Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bellamy, Richard. 1990. Teori Sosial Modern: Perspektif Itali. Jakarta: LP3ES

Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. Diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyuddin et als. Yogyakarta: Jalasutra.

Dahana, Radhar Panca. 2000. Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia. Magelang: Indonesia Tera.

__________________. 2001. Homo Theatricus dan Sejumlah Esai. Magelang: Indonesia Tera.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

___________________. 2000. ”Kebudayaan (di Sekitar) Kita”. Kata pengantar Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Darma, Budi. 2000. ”Sastra dan Kekuasaan”. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Davidson, Alastair. 2003. ”Antonio Gramsci”. Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Peter Beilharz (Ed.). Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fakih, Mansour. 2004 ”Gramsci di Indonesia; Pengantar”. Kata pengantar Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Roger Simon. 2004. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fananie, Zainuddin. 2000. ”Perspektif Ideologis dalam Sastra Indonesia Kontemporer”. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Faruk. 2001. “Menghidupkan Sastra Peranakan Cina”. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Faruk (Ed.). Yogyakarta: Gama Media.

____. 2001. ”Reimajinasi Kebangsaan dan Negara-Bangsa serta Peran Seni di Dalamnya”. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Faruk (Ed.). Yogyakarta: Gama Media.

____. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

____. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gramsci, Antonio. 2000. Sejarah dan Budaya. Diterjemahkan oleh Ira Puspitorini et als. Surabaya: Pustaka Promethea.

______________. 2007. The Intellectuals. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Q. Hoare & G.N. Smith. New York: International Publishers. (Disajikan dalam bentuk arsip digital)

Gunadharma, Visakha. 1989. ”Riwayat Hidup Kwee Tek Hoay”. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Sidharta, Myra. (Ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Haramain, Abdul Malik. 2003. ”Be(lajar)rtanya Lagi pada Kesalahan Karl Marx”. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Saiful Arif (Ed.). Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harymawan, R.M.A. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.

Hermawan, Sainul. 2005. Tionghoa dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Ircisod.

Hoay, Kwee Tek. 2001. ”Asal Mulanya Timbul Pergerakan Tionghoa yang Modern di Indonesia”. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4. Marcus A.S. dan Pax Benedianto. (Ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

_____________. 2002. “Korbannya Kong-Ek: Toonelstuk dalem Ampat Bagian”. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 6. Marcus A.S. dan Pax Benedianto. (Ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Ikranagara. 1999. ”Teater Nasional Indonesia”. Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Tommy F. Awuy (Ed.). Dewan Kesenian Jakarta.

Iskandar, Dedi. 2003. ”Mengenal dan Mengritik Gramsci”. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Saiful Arif (Ed.). Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kanzunnudin, Mohammad. 1995. Kamus Istilah Drama. Rembang: Yayasan Adhigama.

Kayam, Umar. 1999. ”Nilai-nilai Tradisi dan Teater Kontemporer Kita”. Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Tommy F. Awuy (Ed.). Dewan Kesenian Jakarta.

Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana Yogya.

Kwee, Jhon B. 1989. ”Kwee Tek Hoay sebagai Dramawan”. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Sidharta, Myra. (Ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Lan, Nio Joe. 1940. Riwajat 40 Taon THHK-Batavia (1900-1939). Batavia: Tiong Hoa Hwe Koan. (Diterbitkan dalam bentuk buku elektronik).

__________. 1962. Sastera Indonesia-Tionghoa. Jakarta: Gunung Agung.

Lubis, Muchtar. 1996. Sastra dan Tekniknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Manuaba, Putera. 2000. ”Sastra, Sastrawan, dan Negara”. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Masnur, Muhammad Badi’ Zamanil. 2003. ”Perdebatan Revolusi Marx dalam Misteri Kapitalisme”. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Saiful Arif (Ed.). Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Milner, Andrew. 2003. ”Raymond Williams”. Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Peter Beilharz (Ed.). Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Monasta, Attilio. 1993. ”Antonio Gramsci (1891—1937)”. Prospects: The Quarterly Review of Comparative Education. Vol. XXIII. No. 3/4. Hlm. 597-612. Paris: UNESCO. (Diterbitkan dalam bentuk arsip digital)

Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Musianto, Lukas. S. 2003. ”Peran Orang Tionghoa dalam Perdagangan dan Hidup Perekonomian dalam Masyarakat”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol. 5. No. 2. hlm. 193—206. Surabaya: Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Oemarjati, Boen Sri. 1970. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Oey, Eric. 1989. ”Santapan Rohani: Tulisan-tulisan Keagamaan Kwee Tek Hoay”. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Sidharta, Myra. (Ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Osborn, Reuben. 2005. Marxisme dan Psikoanalisis. Diterjemahkan oleh Tim Alenia. Yogyakarta: Alinea.

Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Plekhanov, G.V. 2007. Masalah-masalah Dasar Marxisme. Diterjemahkan oleh Ira Iramanto. Oey’s Renaissance. (Diterbitkan dalam bentuk buku elektronik)

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

_____________________. 2003. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Cetakan ke-3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_____________________. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Cetakan ke-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Putra, Fadhillah. 2003. ”Kritik terhadap Hukum Kapital dan Perwakilan Politik”. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Saiful Arif (Ed.). Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rees, Michonne Van. 1989. ”Kwee Tek Hoay dan Sam Kauw Hwee”. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Sidharta, Myra. (Ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Rusyana, Yus. 2000. ”Memperlakukan Sastra Berbahasa Indonesia dan Sastra Berbahasa Daerah sebagai Sastra Milik Nasional”. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Saini. 2000. ”Teater Indonesia: Sebuah Perjalanan dalam Multikulturalisme”. Interkulturalisme (dalam) Teater. Nur Sahid (Ed.). Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

____. 2002. Kaleidoskop Teater Indonesia. Bandung: STSI Press.

Salmon, Claudine. 1989. “Pandangan Kwee Tek Hoay terhadap Pendidikan Anak-anak Tionghoa di Indonesia”. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Sidharta, Myra. (Ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

______________. 1996. ”Masyarakat Pribumi Indonesia di Mata Penulis Keturunan Tionghoa (1920—1941)”. Sastra Peranakan Tionghoa. Leo Suryadinata (Ed.). Jakarta: Grasindo.

Sambodja, Asep. 2008. ”Peta Politik Sastra Indonesia 1908—2008”. Makalah. Konferensi Internasional Kesusastraan XIX, Batu, Jawa Timur. Belum Diterbitkan.

Santoso, Puji. 2000. ”Kekuasaan, Ideologi, dan Politik dalam Dunia Kesusastraan”. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Sarumpaet, Ratna. 1999. ”Teater dan Realita”. Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Tommy F. Awuy (Ed.). Dewan Kesenian Jakarta.

Satoto, Soediro. 2000. ”Arogansi Kekuasaan dan Politik: Dampaknya terhadap Sastra dan Seni Pertunjukan”. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sidharta, Myra. 1989. ”Bunga-bunga di Taman Mustika”. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Sidharta, Myra. (Ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

____________. 2004. Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siregar, Ashadi. 2000. ”Budaya Massa: Sebuah Catatan Konseptual tentang Produk Budaya dan Hiburan Massa”. Interkulturalisme (dalam) Teater. Nur Sahid (Ed.). Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Soedarsono, R.M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

______________. 2003. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soekito, Wiratmo. 1982. ”Manusia, Sastra, dan Politik: Masalah Engagement dan Desengagement”. Sejumlah Masalah Sastra. Satyagraha Hoerip (Ed.). Cetakan ke-2. Jakarta: Sinar Harapan.

Soemanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Presindo.

Sugiono, Muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jakob. 1989. ”Kwee Tek Hoay sebagai Sastrawan”. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Sidharta, Myra. (Ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

______________.1996. ”Latar Sosiologis Sastra Melayu Tionghoa”. Sastra Peranakan Tionghoa. Leo Suryadinata (Ed.). Jakarta: Grasindo.

______________. 1999. ”Teater Indonesia Era 1900—1945”. Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Tommy F. Awuy (Ed.). Dewan Kesenian Jakarta.

______________. 2004-a. Kesusasteraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.

______________. 2004-b. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.

Sunanda, Adyana. 2000. ”Sastra, Negara, dan Politik”. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Suryadinata, Leo. 1986. Dilema Minoritas Tionghoa. Cetakan ke-2. Jakarta: Grafiti Pers.

_____________. 1989. ”Kwee Tek Hoay sebagai Penulis Masalah Masyarakat Tionghoa dan Politik”. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Sidharta, Myra. (Ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

_____________. 1994. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917—1942. Cetakan ke-2. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

_____________. 1996. ”Dari Sastra Peranakan ke Sastra Indonesia”. Sastra Peranakan Tionghoa. Leo Suryadinata (Ed.). Jakarta: Grasindo.

_____________. 1996. ”Pengkajian Sastra Peranakan Tionghoa di Indonesia: Sebuah Catatan”. Sastra Peranakan Tionghoa. Leo Suryadinata (Ed.). Jakarta: Grasindo.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Cetakan ke-3. Jakarta: Pustaka Jaya.













SUMBER LAMAN


Antariksa. 1999. ”New Left Review”. http://kunci.or.id/esai/nws/03/nlr.htm. Diakses pada 12 Juli 2008 pkl. 11.38 WIB.

________. 2000. ”Raymond Williams”. http://kunci.or.id/esai/nws/0607/ williams.htm. Diakses pada 12 Juli 2008 pkl. 11.27 WIB.

Lan, Thung Jun. 2002. “Prasangka dan Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa”. http://kippas.wordpress.com/2007/08/21/prasangka-dan-diskriminasi-terhadap-etnis-tionghoa/. Diakses pada 26 Desember 2008 pkl. 17.16 WIB.

Ling, Tan Swie. 2008. ”Cina-Tionghoa dalam Hipotesis Deskriptif”. http://www.budaya-tionghoa.org/modules.php?name=News&file=categories &op=newindex&catid=18. Diakses pada 5 Juli 2008 pkl. 08.10 WIB.

Padmo, Soegijanto. 2007. ”Desentralisasi Pemerintahan Daerah di Indonesia”. http://sejarah.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=11. Diakses pada 15 Desember 2008 pkl. 20.14 WIB.

Razif. 2008. ”Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan”. http:// 72.14.235.104/search?q=cache:jQZglHk-R1AJ. Diakses pada 6 November 2008 pkl.19.05 WIB.

Setiono, Benny G. 2002. “Cina, Tionghoa, dan Tiongkok”. http://www. jawapalace.org/sejarah.html. Diakses pada 11 Juni 2008 pkl. 19.35 WIB.

Sidharta, Myra. 2008. ”Sekali Lagi: Tionghoa atau Cina”. http://www. purnamaputralaut.blogspot.com/. Diakses pada 5 Juli 2008 pkl. 07.54 WIB.





(Tulisan ini merupakan makalah yang disajikan pada Seminar Skripsi oleh yang bersangkutan pada Kamis, 8 Januari 2008. Bila berkenan, sudilah kawan-kawan memberi masukan, kritik, dan saran. Terima kasih.)

Woro-woro

Bagi teman-teman yang menginginkan makalah seminar saya, dapat mengambilnya di kantor jurusan. Karena jumlahnya terbatas, di dalam laman blog saya ini makalah tersebut akan ditampilkan. Terima kasih dan mohon maaf.

Oendangan

OENDANGAN!!!

HADLIR DAN SAKSIKEN!!!
PERHELATAN AKBAR DENGEN DJOEDOEL SEMINAR SKRIPSI SAIA....

DENGEN DJOEDOEL "HEGEMONI SEBAGAI STROEKTOER IDEOLOGI DAN BOEDAJA DALEM TEKS DRAMA KORBANNJA KONG-EK KARJA KWEE TEK HOAJ"

JANG AKEN DIADAKEN PADA KAMIS, 8 JANUARI 2008 PKL. 09.00 WIB...
MENJESALLAH BILAMANA TOEAN-NJONJA SAKALIAN TIDAK TOEROET HADLIR DALEM ITOE PERTEMOEAN MAHAPENTING!!!

ttd
WIJKMEESTER VAN KUNCEN
TOEAN MAJOOR ABIZAR POERNAMA

Kamis, 25 Desember 2008

PENGGUNAAN BAHASA DALAM KARYA SASTRA

[1]


1. Pendahuluan
Bahasa adalah media sastra yang bersifat materi. Bahasa dijadikan sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis. Pengelompokan sastra memang berpijak pada bahasa yang digunakan. Akan tetapi, bahasa bukan yang terpenting karena pada dasarnya bahasa adalah alat komunikasi sosial suatu masyarakat. Yang lebih penting adalah isi atau muatan yang ingin disampaikan melalui bahasa itu (Sumardjo, 2004:251). Kebudayaan dapat ditelusuri melalui aktivitas keseharian (unsur umum), termasuk penggunaan bahasa dalam berkomunikasi (Williams, 1958:311 dalam Milner, 2003:378). Menurut Williams, sastra sebagai struktur perasaan dari suatu kebudayaan mengandung suatu makna yang hidup dan aktual yang memungkinkan terjadinya komunikasi kemudian dimanfaatkan secara alamiah dan hegemonik (Williams, 1961:64—65 dalam Milner, 2003:379).
Menurut Sumardjo (2004:253), bahasa Melayu-Tionghoa berakar pada bahasa Melayu. Bahasa Melayu terbagi atas dua bagian, yaitu sebagai bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis hanya dikenal secara aktual di lingkungan pengguna bahasa Melayu, terutama golongan bangsawan. Bahasa Melayu tulis lazim dikenal sebagai bahasa Melayu Riau atau bahasa Melayu-Tinggi. Bahasa Melayu-Tinggi ini kemudian dijadikan suatu kebakuan dalam penyaringan karya-karya yang dianggap sastra oleh Het Kantoor voor Inlandsze Zaken (Kantor Urusan Bumiputera) yang bekerjasama dengan Balai Pustaka atau Kantoor voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) (Razif, 2008).
Menurut Razif (2008:17), antara Balai Pustaka dengan Kantor Urusan Bumiputera terjadi hubungan yang sangat erat. Di dalam Kantor Urusan Bumiputera terdapat ahli-ahli bahasa yang bertugas mengadakan penelitian terhadap bahasa-bahasa di Hindia-Belanda. Sedangkan, Balai Pustaka memberikan pertimbangan kepada negara kolonial tentang pemilihan naskah bacaan bagi perpustakaan sekolah dan masyarakat umum. Pengurusnya terdiri atas enam orang dan diketuai oleh Hazeu, penasehat urusan bumiputera, yang kemudian diambil alih oleh Rinkes pada 8 November 1910. Rinkes sebelumnya telah aktif sebagai pegawai bahasa di Kantor Urusan Bumiputera. Kedua kantor ini secara administratif berada di bawah direktur Departement van Onderwijs (Departemen Pendidikan). Dengan kata lain, yang menyeleksi karya sastra dari sudut bahasanya adalah Kantor Urusan Bumiputera, sedangkan Balai Pustaka bertugas untuk menerbitkan dan menyebarkan karya sastra yang lolos seleksi tersebut. Persamaannya adalah kedua organisasi tersebut merupakan institusi yang berusaha mendominasi dan mensubordinasi proses organisasi sosial dan mengontrol perkembangan kebudayaan masyarakat Hindia Belanda.
Sedangkan, bahasa Melayu lisan adalah cabang bahasa lisan yang berubah dan berkembang berdasarkan perubahan-perubahan historisnya. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa pergaulan oleh berbagai macam kelompok asal, seperti masyarakat Belanda, Tionghoa, Jawa, Sunda, dan sebagainya, terutama dalam hubungan perdagangan. Oleh karena itu, terbentuk berbagai bahasa Melayu dalam berbagai dialek. Dialek-dialek dalam berbagai kelompok ini disebut bahasa Melayu-Rendah atau bahasa Melayu Pasar. Selanjutnya, bahasa Melayu-Rendah yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa dengan dialek yang khas Tionghoa memunculkan bahasa Melayu-Tionghoa atau juga disebut bahasa Melayu-Betawi.

2. Bahasa dalam Korbannya Kong-Ek
Penggunaan bahasa-bahasa di atas dapat menunjukkan tingkat pendidikan dan pengalaman hidup seseorang. Dengan kata lain, intelektualitas seseorang tercermin dalam bahasa yang digunakannya. Pemakaian bahasa juga memberikan indikasi maksud dan sasaran pembaca yang ingin dituju pengarang (Sumardjo, 2004:255). Penggunaan bahasa Melayu-Tionghoa oleh Hoay dalam Korbannya Kong-Ek lebih ditujukan kepada masyarakat Tionghoa dari lingkungan masyarakat menengah ke bawah. Lebih dari itu, bahasa Melayu-Tionghoa pun dapat dimengerti oleh masyarakat di luar masyarakat Tionghoa dan masyarakat kelas atas. Jadi, tujuan yang ingin dicapai Hoay adalah agar Korbannya Kong-Ek lebih dekat dan dipahami oleh masyarakat sasarannya itu.
Seperti yang disampaikan Gramsci, bahasa merupakan sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis. Perlu diketahui, jumlah masyarakat kelas menengah ke bawah jauh lebih dominan daripada kelas masyarakat di atasnya. Masyarakat menengah ke bawah berpotensi besar sebagai kelas pergerakan, bahkan revolusioner. Dengan begitu, Korbannya Kong-Ek diupayakan memberikan aspek formatif kepada masyarakat. Hoay menggunakan kecerdasannya untuk dapat memenuhi fungsi sosial dan mengekspresikan gagasan intelektualnya. Tindakan formatif dari segi penggunaan bahasa yang dilakukan Hoay ini juga merupakan upaya kontra-hegemoni terhadap kekuasaan kolonial.
Tuturan-tuturan yang khas masyarakat Tionghoa banyak ditemui dalam teks, misalnya boanseng dan owe (saya; aku), liatwie losianseng (tuan; kau), cia-lat (sial—makian—), kamsiah (terima kasih), jiatsiem (baik; murah hati), ce-ceng-tun (seribu), dan tabe (tabik; salam hormat) dalam contoh di bawah ini.
Tek Beng : (bertunduk dan bertarik nafas panjang) Boan seng minta tempo buat pikir dulu. Boan seng betul kuatir pada penyakit itu dua anak.
(Hlm. 36)
....
Tek Beng : (berbangkit dari meja vergadering) Owe menyesel ini vergadering ditutup sampe di sini saja, tapi apa boleh buat. Sekarang owe permisi pulang, sebab owe mau lekas liat bagimana kaadaannya owe punya anak-anak.
(Hlm. 41)
....
Tek Beng : .... Tapi cobalah Liatwie Losianseng pake pikiran dan timbangan yang adil dalem ini hal. ....
(Hlm. 30)
....
Yo Tjioe : (meremin matanya mukanya berjengit, tangannya masih pegangin perut) Aduh, Aduh, cia-lat betul! Owe punya perut sakit, rasanya ’nak mau muntah dan kepala pusing.
(Hlm. 37)
....
Yo Tjioe : Kamsiah! Aduh, duh, duh! Tra usah bikin susah, Pek Pie Koh Sia sendiri sudah sampe.
(Hlm. 39)
...
Sun Hong Kie: (tertawa) Ha-ha-ha! Tek Beng seorang jiatsiem, maka gampang dibujuk buat lakuken pakerjaan berat, asal diogok dan didongengin, dia tentu tida tampik.
(Hlm. 42)
....
Toa Te : Kabarnya suda dapet ampir ce-ceng-tun.
(Hlm. 70)
....
Masing-masing membri tabe. Van Eerlijk, De Zuiver, dan Sauerkop berjalan kaluar, dianter oleh semua orang, komudian itu lid-lid bestuur duduk kombali di saputer meja vergadering.
(Hlm. 79)

Contoh kata-kata di atas tidak serta-merta menjadi tuturan yang tetap atau selalu digunakan oleh tokoh dalam dialognya. Akan tetapi, pada dialog lainnya juga menggunakan kata-kata yang lazim, seperti aku, kau, tuan-tuan, persetan, trima kasih, cakep, saribu, dan hormat. Hal ini merupakan salah satu cara mengompromikan bahasa agar lebih akomodatif.
Tek Beng : Aku tida sesalin salah satu orang. Aku cuma unjuk tida betulnya Hong Kie punya alesan, bahua itu dua vergadering jadi gagal, lantaran itu dua malem ada ujan dan angin meniup keras.
(Hlm. 18)
....
Tek Beng : Kapan tuan doktor mau preksa, saya nanti kasih satu surat introductie pada hoofdonderwijzer dari itu sekola, supaya ia suka tulung kasih segala katrangan yang perlu pada tuan.
(Hlm. 54)
....
Yo Tjioe : (lemparken itu cepuk katanah) Persetan!
(Hlm. 37)
....
Yo Tjioe : ..., sebab sekarang pun, baru saja itu hal digerakin, itu dua pembesar sudah unjuk trima kasihnya dengen kunjungi kita punya sekola. (menulis terus)
(Hlm. 70)
....
Soen Hong Kie: Itu betul! Boan seng cocok sekali. Tida ada laen orang yang sampe cakep jadi utusan salaennya dari tuan Sim Tek Beng.
(Hlm. 34)
....
Toa Te : .... Sekarang malah ada yang tau bayar renten sampe ampat puluh persaribunya, tapi owe blon bisa kasih, sebab owe blon sedia.
(Hlm. 43)
....
(Masuk : Ong Sam Kiok, Tjin Toa Te, Beng Soe Sek, Lim Yo Tjioe, dan Pek Pie Koh Sia, masing-masing membri hormat pada yng hadir duluan).
(Hlm. 19)

Di lain pihak, Hoay juga sedikit banyak menguasai bahasa yang lainnya, di luar bahasa Melayu-Tionghoa. Kosakata dari bahasa Belanda juga banyak ditemui di dalam teks, baik pada petunjuk pelakonan, dialog tokoh Tionghoa, terutama dialog tokoh Belanda, seperti voorstel (usul; tawaran), conferentie (konferensi), vergadering (rapat), bestuur (pemerintah), statuten (status), rekest (pengaduan; petisi), commissaris politie (komisaris polisi), advies (nasehat), introductie (pengantar), hoofdonderwijzer (kepala sekolah), rapport (laporan), Groote Weg (jalan raya), Arabieren (orang Arab), Inlanders (orang-orang pribumi), politie (polisi), en (dan), gezonheid dienst (dinas kesehatan), besmet (terinfeksi; tertular), vloer (lantai), plafond (langit-langit), directeur (direktur), dan gemeente werken (kepegawaian kotapraja).
Sam Kiok : Laen dari itu kau misti inget, kita telah majuken banyak voorstel-voorstel penting buat dibicaraken di itu conferentie, yang ampir semua kaluar dari kau punya pikiran. ....
(Hlm. 36)
....
Soe Sek : Kalu diterusken pun ini vergadering jadi tida sah kerna bestuur yang hadlir tida cukup banyaknya seperti ditentuken dalem statuten.
(Hlm. 40)
....
Yo Tjioe : Itu rekest owe yang atur, dan owe percaya ini sakali bakal berhasil, sebab kita punya kaptoa dua-dua, begitu pun Patih dan commissaris politie, ada tunjang kras dan bri advies baek.
(Hlm. 71)
....
Tek Beng : Kapan tuan doktor mau preksa, saya nanti kasih satu surat introductie pada hoofdonderwijzer dari itu sekola, supaya ia suka tulung kasih segala katrangan yang perlu pada tuan.
(Hlm. 54)
....
Sauerkop : Zekkarang saya blom bissa bilang apa-apa. Saya mesti tonghu rapport priksa itu darah di laboratorium. .... Duwa anak itu baba toko bras di jalan Grobak, lima di Groote Weg en duwa di dekat passer yang dagang cita, samuwa dapat typhus.
En saya heiran bagimana coomah di kampung china saja banyak-banyak anak-anak dapat itu sakit, anak owrang Blanda of Arabieren of Inlanders tidak ada yang kena typhus. Zekkarang saya mauw minta politie en gezonheid dienst bowat jaga sopya tidak ada besmet lebih jauw. ....
(Hlm. 53)
....
De Zuiver : .... Kamar sekola punya vloer, plafond, dan tembok-tembok sudah pecah di sana-sini dan amat mesum, dan itu jendel-jendel sekola juga banyak yang pecah atawa rengat. ....
(Hlm. 78)
....
Van Eerlijk : Itu uwang saya minta besok pagi disrahken sama directeur dari gemeente werken, yang saya nanti minta tulung buat atur dengen lekas itu pakerjaan semua, supaya ini sakola bisa lekas dibuka kombali.
(Hlm. 78)

Melalui penggunaan tuturan dari bahasa Belanda, Hoay berusaha mengakomodasi kepentingan kelas (pembaca) dari golongan Belanda. Bahkan, penulisan dialog-dialog yang dituturkan Van Eerlijk, De Zuiver, dan terutama Sauerkop dibuat seperti cara orang Belanda berbicara dengan dikombinasikan dengan bahasa Melayu-Tionghoa. Sebagaimana terdapat pada penggalan teks yang ditunjukkan di atas, seperti zekkarang (sekarang), bissa (bisa), tonghu (tunggu), passer (pasar), coomah (cuma), owrang (orang), bowat (buat), jauw (jauh), dan jendel (jendela). Cara mengakomodasi kepentingan (bahasa) yang lain, di samping kepentingan individu atau kelompoknya, merupakan gejala hegemoni, pertarungan ideologi, dan penegosiasian ideologi pengarang.
Selanjutnya yang perlu ditekankan adalah belum adanya bahasa yang diresmikan sebagai bahasa nasional pada masa penciptaan teks. Sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa nasional. Bahkan, kata ’indonesia’ untuk mengacu pada wilayah geografis pun belum jamak dikenal masyarakat—masih disebut Hindia Belanda. Menurut Gramsci (dalam Faruk, 2005:74), ketidakmatangan relatif bahasa nasional tersebut dapat menciptakan kelompok intelektual. Bahasa, sebagai materi dalam media massa (sastra), berpotensi sebagai wujud hegemoni dalam suatu perang posisi.

3. Penutup
Konsepsi mengenai dunia dan kebudayaan telah digunakan Hoay untuk membuka intensitas dan ruang lingkup konflik sosial. Bahasa Melayu-Tionghoa yang digunakan Hoay dapat disengaja pemakaiannya. Hal itu dilakukan agar Korbannya Kong-Ek menjadi hidup dan dapat meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembaca, sehingga dapat menarik perhatian dan simpati pembaca secara tidak sadar terhadap gagasan dan ideologi yang direpresentasikan. Selain itu, dengan pemakaian bahasa Melayu-Tionghoa, Korbannya Kong-Ek dapat menjangkau khalayak seluas-luasnya. Keberanian Hoay untuk tetap mengarang dalam bahasa Melayu-Tionghoa, mencetak, dan menerbitkannya secara independen di tengah-tengah pandangan hegemonik negara melalui Balai Pustaka merupakan suatu tindakan kontra-hegemoni Hoay dalam suatu perang posisi.
Jadi, Hoay telah berusaha secara sadar memenuhi fungsi sosialnya, memikirkan fungsi organisatoris dalam menyebarkan pandangan-pandangan universalnya, dan memberikan homogenitas dalam hegemoni kultural. Pada tataran tersebut, peran sebagai intelektual organik telah diwujudkan oleh Hoay dalam aktivitas mengarang Korbannya Kong-Ek.



DAFTAR PUSTAKA


Gramsci, Antonio. 2007. The Intellectuals. Diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Q. Hoare & G.N. Smith. New York: International Publishers. (Disajikan dalam bentuk arsip digital)

Hoay, Kwee Tek. 2002. “Korbannya Kong-Ek: Toonelstuk dalem Ampat Bagian”. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 6. Marcus A.S. dan Pax Benedianto. (Ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana Yogya.

Milner, Andrew. 2003. ”Raymond Williams”. Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Peter Beilharz (Ed.). Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Razif. 2008. ”Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan”. http://72.14.235. 104/search?q=cache:jQZglHk-R1AJ. Diakses pada 6 November 2008 pkl.19.05.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusasteraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.


[1] Tulisan ini adalah salah satu bagian dari bab Formasi Ideologi dalam skripsi ”Hegemoni sebagai Struktur Ideologi dan Budaya dalam Teks Drama Korbannya Kong-Ek Karya Kwee Tek Hoay”.

DRAMA YUNANI SEBAGAI AKAR DRAMA MODERN




1. Awal Mula Drama di Yunani
Awal mula munculnya drama adalah pemujaan kepada dewa Dionisius (dewa anggur dan kesuburan) pada sebuah festival di Yunani. Menurut buku A History of the Theatre, pemujaan tersebut berasal dari Mesir kuno. Teks piramid yang bertanggal 4000 SM adalah naskah Abydos Passion Play. Bukti berupa adanya aksi (action) dan tokoh di dalam naskah tersebut menunjukkan bahwa itu adalah teks drama. Di samping itu para pakar membuktikan adanya beberapa baris yang di dalamnya para tokoh mengidentifikasikan diri mereka sebagai “Saya Horus”, “Saya Nut” (Reeves, 1955: 18 dan 28, dalam Soemanto, 2001: 12)
Seperti halnya di Indonesia, bentuk awal drama dan teater Barat juga berasal dari ritual keagamaan. Meskipun sifat kegiatan ritual keagamaan di Barat tidak sepuitis di Timur, bentuknya lebih kepada pemaparan (penceritaan). Dalam tulisan ini dicontohkan awal mula drama di Yunani kuno. Di wilayah tersebut, sekelompok manusia, dengan cara mengarak seekor kambing yang sudah dihias, digiring keliling pasar dan tempat keramaian lainnya dengan berbagai iringan dan bunyi-bunyian. Rombongan tersebut menceritakan tentang salah satu dewa mereka kepada para penonton yang menyaksikan di sepanjang jalan. Bila perhatian penonton tinggi, arak-arakan akan memperlambat atau menghentikan arakannya dan memberikan kesempatan pada narator untuk mengisahkan kejadian. Baru kemudian upacara-upacara ritual keagamaan dilakukan di tempat-tempat khusus.
Orang Yunani Kuno yang hidup kurang lebih tahun 500 SM, memuja dewa-dewi mereka dengan menirukan tingkah laku dewa-dewi mereka di depan candi mereka. Peniruan yang dilakukan terhadap tingkah laku para dewa atau satu dewa itulah yang menjadi titik tolak kehidupan teater (Barat). Singkatnya, teater di Yunani berkembang pesat ketika orang Yunani Kuno mulai membuka sayembara penulisan naskah-naskah untuk festival perayaan dalam rangka menghormati Dewa Dionisius.
Pada zaman keemasannya, teater di Yunani megalami perkembangan dari teater upacara ke teater estetik, dari teater yang bersifat sakral ke arah teater yang merupakan ekspresi seniman sebagai individu. Kalau pada awal kelahiran teater (Barat) Thespis, aktor pertama yang memasukkan seni peran ke dalam upacara agama, masih tidak melepaskan sifat upacara yang bersifat sakral tokoh-tokohnya, secara perlahan tokoh-tokoh tersebut semakin menjauh dari sifat sakral itu. Di dalam Oidipus Sang Raja, misalnya, Sopochles tidak lagi mengagungkan dewa-dewa, akan tetapi malah meragukan keadilan mereka. Euripides yang jauh lebih muda, malah menyerang dewa-dewa melalui dramanya. Aristhophanes mengolah masalah-masalah duniawi (profane), seperti kekonyolan tokoh-tokoh masyarakat ketika itu, misalnya filsuf Sokrates, dalam ceritanya yang berjudul Awan, atau kekonyolan perang dan politik di dalam cerita Lysistrata.

3. Jenis Pertunjukan
Di dalam perkembangannya, terdapat dua jenis pertunjukan drama atau teater yang saat itu muncul di Yunani, yaitu:
3.1. Tragedi
Tragedi bersifat ritual keagamaan, sehingga pertunjukannya berlangsung serius, khidmat, puitis, dan filosofis. Tokoh-tokoh di dalam drama jenis ini selalu menghadapi dilema moral yang sulit meskipun mereka mempunyai kelebihan tertentu dibanding manusia biasa lainnya. Tragedi di Yunani Kuno terdiri dari beberapa episode dan diiringi nyanyian koor yang biasanya berupa kode.
Beberapa tokoh drama tragedi Yunani adalah:
3.1.1. Aeskillos (525-456 SM), karya-karyanya yang terkenal adalah Trilogi Oresteia yang terdiri dari Agamemon, Pembawa Korban, dan Para Pemberang. Karya lainnya Orang-orang Persia, Prometheus Dibelenggu, dan Para Pemohon.
3.1.2. Sophocles (496-406 SM), karya-karyanya yang terkenal adalah Trilogi Oidipus yang terdiri dari Oidipus di Colonus, Oidipus Sang Raja, dan Antigone. Karyanya yang lain adlah Ajax, Wanita-wanita Trachia, dan Electra.
3.1.3. Euripides (484-406 SM), karya-karyanya antara lain Hercules, Putra-putra Hercules, Medea, Wanita-wanita Troya, serta karya sastranya yang berjudul Cyclop.
3.2. Komedi
Komedi berasal dari kata Komoida, yang berarti membuat gembira, sehingga drama komedi dimaksudkan sebagai drama yang membawa kabar gembira, misalnya kemenangan perang, kepahlawanan, dan lain-lain. Jenis ini dibagi menjadi dua berdasarkan tema cerita yang dipentaskan. Komedi yang bertema sosial, politik, dan kenegaraan adalah komedi lama, sedangkan komedi yang bertema kehidupan rumah tangga dan keseharian adalah komedi baru.
Tokoh-tokoh daram komedi Yunani Kuno yaitu:
3.2.1. Aristhophanes (445-385 SM), karya-karyanya antara lain Para Perwira, Lysistrata, dan Burung-burung. Ia merupakan tokoh komedi lama.
3.2.2. Menander (349-291 SM), karyanya yang dikenal hanya satu, yaitu Rasa Dongkol. Ia merupakan tokoh komedi baru.

4. Fenomena Cerita Drama-drama Yunani Kuno
Selain merupakan realitas, kehidupan manusia juga merupakan realitas yang secara langsung dapat didekati, lantaran kehidupan manusia merupakan kehidupan yang layak, usaha terbaik untuk itu adalah berusaha memahaminya. Pada kebudayaan Yunani Kuno, nilai-nilai kemanusiaan lebih penting daripada di berbagai kebudayaan kuno lainnya di dunia, bahkan di kebudayaan Yunani, kesatuan hidup dapat dipahami dalam istilah-istilah agamis.
Hal di atas tercermin pada salah satu cerita drama tragedi berjudul Antigone karya Sophocles. Antigone adalah sebuah lakon yang mengedepankan tafsir modern salah seorang dramawan Prancis yang paling populer sejak perang dunia kedua, Jean Anouilh (1910-1987), terhadap makna eksistensial yang terkandung dalam tragedi Antigone. Naskah ini termaktub dalam trilogi Yunani klasik karya Sophocles; Oedipus Sang Raja, Oediphus di Kolonus dan Antigone. Jean menulis naskah ini pada tahun 1944 yang semula dimaksudkan sebagai ungkapan resistensi dan sikap menolak tunduk pada kesewenang-wenangan NAZI, tokoh Antigone merupakan wakil dari sebuah kekuatan semangat yang menentang dan menyerukan perlawanan terhadap tirani raja Creon.
Naskah Antigone merupakan salah satu dari puluhan naskah Yunani yang masih ada, di mana naskah-naskah itu ditulis tiga orang penulis, masing-masing Aeskhillos, Sophocles, dan Euripides. Khusus Sophocles, setiap naskahnya selalu melukiskan manusia seperti seharusnya, bukan apa adanya. Dalam drama-drama Sophocles tidak mempersoalkan kejahatan dan hukumnya yang abstrak. Namun ia lebih mengutamakan perjuangan tokoh kuat dalam melawan nasibnya. Pola drama Sophocles selalu memunculkan tokoh pribadi kuat. Jalan yang ditempuh tokohnya selalu berat dan sulit serta menderita, tapi sikap ini justru membuat sang tokoh makin mulia dan berperikemanusiaan.
Sepanjang hidup, Sophocles menulis ratusan naskah namun hanya tujuh naskah saja yang tersisa, yakni Wanita-Wanita Trachia, Ajak, Antigone, Oeidiphus Sang Raja, Oeidiphus di Kolonus, Electra, dan Philocteles.
Tokoh Antigone merupakan tokoh wanita heroik yang berani berkata tidak pada saat banyak orang berkata ya, mati merupakan sebuah pilihan yang terbaik, karena di mata Antigone, perempuan kecil, kurus, dan kurang cantik ini kematian merupakan tiket mahal untuk pengganti senjata melawan tirani. Antigone rela dirinya dihukum gantung demi keselamatan rakyatnya.
Penggambaran tokoh yang demikian, meski ditulis Sophocles ratusan tahun lalu, masih relevan untuk sindiran kehidupan nyata hari ini, di mana saja, di negeri mana pun. Sebab pemikiran teater sebagai sebuah pemanggungan peristiwa, juga merupakan kesadaran kolektif sosial manusia, sebuah pertunjukan teater –mungkin– bisa jadi sebuah kegiatan yang menyentuh kesadaran manusia.
Antigone boleh jadi merupakan ironi bagi kenyataan hidup masa kini. Sebuah kekuasaan yang mengatasnamakan demokrasi, atas nama stabilitas nasional, atas nama kepentingan rakyat, yang ternyata hanya bertujuan untuk menumpuk harta kekayaan serta kepentingan kelompok, akhirnya akan luluh juga, meskipun membutuhkan waktu yang panjang. Semangat juang Antigone dan normalnya diri sebagai wanita yang jatuh cinta terhadap lawan jenis. Sayang ternyata pria idamannya, Hermon, berselingkuh dengan Ismene, saudara sepupunya. Kenyataan ini tak membuat ia putus asa berjuang mempertahankan kekuatan cinta terhadap perdamaian.
Dalam Antigone, semua terjawab bahwa cinta mampu mengalahkan pemerintahan yang korup, kekuatan cinta tak mampu dibendung dengan senjata atau hukuman mati sekalipun, lalu apakah Antigone pun mampu mengubah segalanya.

5. Penutup
Tulisan di atas dapat diambil beberapa hal penting menyangkut sejarah drama dan teater (Barat) yang awal mula perkembangannya berada di Yunani tahun 500 SM, yaitu (1) fenomena munculnya kesenian pertunjukan berawal dari ritual-ritual keagamaan yang sakral, yang kemudian bergeser menjadi sarana ekspresi individu sehingga mengurangi kesakralan ritus sebelumnya. Hal ini diakibatkan karena kesenian pertunjukan (drama) mencoba memposisikan diri sebagai aktualisasi di dalam suatu kelompok masyarakat agar masih mempunyai masyarakat pendukung. (2) Aktualisasi di dalam drama memberikan kedudukan drama sebagai kebutuhan, karena pemahaman sebuah cerita di dalam drama harus mendalam dan memenuhi syarat estetik. Drama sebagai suatu kegiatan dan lembaga dapat memberikan nilai-nilai. Nilai-nilai itu yang bersatu (koheren) dalam teater itu sendiri, yaitu nilai-nilai budaya, moral, dan keindahan.



SUMBER PUSTAKA

Asmara, Adhy. 1983. Cara Menganalisa Drama. Yogyakarta: Nur Cahaya
Harymawan. 1994. Dramaturgi. Yogyakarta: ASDRAFI
Saini. 2002. Kaleidoskop Teater Indonesia. Bandung: STSI Press
Soemanti, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo
Sumardjo, Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press
Hasanuddin. 1996. Drama: Karya Dalam Dua Dimensi (Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis). Bandung: Angkasa.

SUMBER DARI INTERNET

http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya